DEPOK, KOMPAS.com - Di pusat Kota Depok, Jawa Barat, berdiri sebuah gereja tua peninggalan seorang tuan tanah asal Belanda, Cornelis Chastelein.
Gereja yang hanya berjarak 1 kilometer dari kompleks Pemerintahan Kota Depok diberi nama Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel.
Bangunan ini telah melintasi zaman sebagai saksi kemerdekaan para “kaum Depok” atau “Belanda Depok”.
Istilah Belanda Depok disematkan untuk kaum mardijkers atau budak yang dimerdekakan oleh Chastelein.
Mereka awalnya terdiri atas 12 keluarga dengan jumlah 120-150 orang yang dibeli Chastelein dari pasar budak di Bali.
Ke-12 keluarga itu menyandang nama (keluarga) Loen, Leanders, Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Laurens, Tholense, Soedira, Samuel, dan Zadokh.
Kini, tersisa 11 nama keluarga yang masih digunakan sebab generasi keturunan Zadokh sudah tidak ada.
Baca juga: 5 Gereja yang Berperan dalam Penyebaran Kristen di Batavia
Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Kompas.com 2018 lalu, Koordinator Bidang Aset Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) Ferdy Jonathans menuturkan GPIB Immanuel Depok sudah berdiri sejak 1713.
"Gereja ini dibuat karena pada saat itu, 12 keluarga budak yang dimerdekakan Cornelis Chastelein setiap beribadah selalu ke gereja yang ada di Jakarta. Chastelein merasa iba, jadilah dibuat gereja di sini," kata Ferdy.
Sebelum wafat, Chastelein yang memiliki lahan kekuasaan seluas 1.244 hektar itu mewariskan aset-asetnya untuk dikelola oleh 12 marga budak yang dibebaskannya tersebut.
Saat pertama kali didirikan, gereja ini memiliki nama De Protestanse Kerk. Adapun pendeta pertama yang diangkat Chastelein untuk mengabdi di sana adalah Baprima Lukas yang berasal dari Bali.
Awalnya bangunan gereja disokong oleh buluh-buluh bambu. Selanjutnya pada 1792 gereja itu diperbaiki, dan sebagian dari bangunannya memakai bahan batu.
Bangunan ini bertahan hingga tahun 1833 sebelum kemudian rusak berat akibat gempa Gunung Krakatau yang berpusat di Selat Sunda.
Ibadah jemaat gereja hingga 1854 berlangsung di bangunan darurat. Baru pada 1854 dibangun kembali gereja permanen.
Gereja ini tercatat baru bergabung dalam GPIB pada 31 Oktober 1948.
Dalam wawancaranya dengan Harian Kompas, seorang pemerhati sejarah gereja Depok Boy Loen menyatakan, bangunan asli gereja direnovasi dan diperluas pada 1989. Ia memperkirakan hanya 40 persen dari bangunan asli yang tersisa.
Menurut dugaannya, perkara ini yang kemudian menyulitkan GPIB Immanuel Depok menjadi benda cagar budaya. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bangunan cagar budaya harus memiliki minimal 50 persen tingkat keaslian bangunan.
Baca juga: Sejarah Gereja Katedral, Gereja Katolik Pertama di Batavia
Secara fisik, bangunan GPIB Immanuel masih kokoh. Arsip harian Kompas pada 2018 mendeskripsikan bahwa pintu-pintu lengkung dan jendela dengan kaca patri menghiasi gedung.
Sebagai peringatan terhadap jasa Chastelein, dibuatlah prasasti dari batu marmer yang bisa dilihat tepat di sisi kiri pintu utama gereja.
Chastelein meninggal pada 28 Juni 1714 karena epidemi yang menjangkiti Batavia dan sekitarnya. Tanggal ini menjadi tanggal bersejarah bagi warga asli Depok Lama karena tepat pada saat itulah leluhur mereka merdeka.
Surat wasiat yang ditinggalkan oleh Chastelein berisi pembebasan para budaknya. Ia juga mewariskan lahan yang ia miliki pada budak-budak tersebut.
Tak hanya membebaskan, Chastelein juga membekali komunitas tersebut dengan kemampuan berorganisasi dengan membentuk Gemente Bestuur atau Tata Praja Depok. Ia juga membuat sekolah untuk mereka.
Dengan bekal pendidikan dan kemampuan berorganisasi itulah komunitas Belanda Depok banyak yang kemudian memegang jabatan di kantor-kantor di Batavia hingga ke era kemerdekaan.
Baca juga: Gereja Sion, Gereja Berusia 324 Tahun di Jakarta
Berdasarkan catatan dalam buku Melacak Jejak-jejak Sang Pembebas: Dari Jemaat Masehi ke GPIB Jemaat Immanuel Depok terbitan BPK Gunung Agung, 2014, komunitas Belanda Depok berkembang maju sejak awal kedatangan mereka dari Bali.
Komunitas itu jadi komunitas sejahtera karena berhasil menggarap pertanian, perkebunan, dan sawah. Di sisi lain, hal ini menimbulkan kesenjangan ekonomi dengan warga sekitar perkebunan di luar area komunitas Belanda Depok.
Sebuah peristiwa kelam sempat melanda komunitas Belanda Depok pada 7 hingga 13 Oktober 1945. Sekelompok orang yang mengatasnamakan pejuang revolusi menyerang komunitas tersebut beserta gereja dan lumbung pangan mereka.
”Orang-orang Depok keturunan budak Chastelein kemudian digiring sebagai tawanan dan dipaksa membawa bendera Merah Putih”, tulis Pendeta Hendrik Ongirwalu dan Pendeta Hallie Jonathans dalam buku tersebut
Layanan gereja terhenti hingga 1949 akibat peristiwa itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.