Di sekolah ini, ia mempelajari ilmu bangunan (bouwkunde) dan lulus pada tahun 1931.
Sayangnya, Silaban tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat universitas karena masalah finansial.
"Tapi di luar itu semua, beliau telah mendedikasikan dan mengabdikan hidupnya hingga mencapai kemampuan menghasilkan berbagai desain arsitektur Indonesia, melalui pembelajaran pribadi yang tiada henti," tulis buku Rumah Silaban.
Segera setelah kelulusannya pada 1931, Silaban menjadi pegawai di Departemen Umum di bawah pemerintah kolonial.
Setelah kemerdekaan, ia diangkat menjadi direktur Pekerjaan Umum di Bogor, sebuah jabatan yang dipegangnya hingga 1965 setelah jatuhnya Soekarno.
Baca juga: Makna Mendalam dari Setiap Lekuk Arsitektur Masjid Istiqlal...
Setelah berakhirnya era Soekarno, rezim Orde Baru mencoba untuk menghapuskan semua hal yang terkait dengan rezim Soekarno.
Silaban, seseorang yang diasosiasikan dengan Soekarno, kemudian tersisihkan.
Kedekatannya dengan Soekarno telah menyebabkan kejatuhan karirnya pada rezim Soeharto.
"Dalam fase hidup terakhirnya, beliau sangat haus akan pekerjaan dan penghasilan. Upah pensiunannya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya yang besar, juga harga dirinya," tulis buku Rumah Silaban.
Pria dengan 10 anak ini kemudian mencoba melamar pekerjaan ke PBB, terlihat dari suratnya untuk Alvaro Ortega, Kepala Penasihan Bangunan Inter-Regional PBB.
Silaban meninggal pada tahun 1984. Meski terpinggirkan di akhir hayatnya, ia meninggal sebagai tokoh bangsa.
"Pahlawan modern yang ikut dalam pembangunan nasional dan namanya tetap diingat sebagai arsitek luar biasa Indonesia", tulis buku Rumah Silaban.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.