Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Pemerintah Hindia Belanda Habiskan Jutaan Gulden, tetapi Tak Bisa Atasi Banjir Jakarta

Kompas.com - 25/02/2021, 09:41 WIB
Singgih Wiryono,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Banjir Jakarta bukan merupakan hal baru. Bencana tahunan kala Jakarta dilanda hujan dengan intensitas tinggi itu sudah berlangsung bahkan sejak Indonesia merdeka.

Dalam buku yang ditulis Sawarendro berjudul "Sistem Polder dan Tanggul Laut Penanganan Banjir Secara Madani di Jakarta", dijelaskan bahwa penanganan banjir Jakarta di masa pemerintahan Hindia Belanda, yang menghabiskan jutaan gulden, tetap bisa menuntaskan banjir Jakarta hingga saat ini.

Seorang professor dari Negeri Kincir Angin (julukan negeri Belanda), Herman van Breen, didatangkan untuk menuntaskan permasalahan banjir yang kala itu Jakarta bernama Batavia.

Baca juga: Sejarah Banjir Jakarta dari Zaman Tarumanegara hingga Hindia Belanda

"Jika dihitung-hitung, jutaan gulden sudah digelontorkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengatasi banjir di Batavia ini," tulis Sawarendro.

Van Breen kemudian mengemukakan beberapa ide-ide brilian penanganan banjir yang mengacu pada apa yang sudah diterapkan di Belanda.

Konsep yang ditiru Van Breen bukan sekadar memindahkan rancangan yang ada di Belanda untuk dibangun di Jakarta. Tetapi juga dimatangkan dengan penyesuaian kondisi Jakarta kala itu.

Salah satu percobaan pengendalian banjir milik Van Breen adalah sistem tata air di Rawa Menteng di lembah Kali Cideng di daerah Kampung Lima dan Rawa Tanah Tinggi. Kala itu, daerah yang disebut dicap sebagai daerah langganan banjir ketika hujan datang.

Baca juga: Mengenal Polder yang Jadi Andalan Yusmada untuk Mengatasi Banjir Jakarta

"Untuk mengeringkan daerah tersebut di musim hujan, Van Breen memilih menggunakan pompa-pompa air, mirip seperti yang dilakukan di banyak tempat di Belanda," tulis Sawarendro.

Konsep pompa air tersebut dilakukan Van Breen bukan tanpa alasan. Pada saat itu kekhawatiran genangan air yang menyebabkan malaria marak terjadi.

Sehingga dinilai penerapan pompa air untuk pengeringan wilayah tergenang menjadi sangat penting.

Di tahun 1918, Van Breen kembali merancang konsep yang lebih luas dalam pengendalian banjir Jakarta.

"Konsepnya adalah berusaha mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota," tulis Sawarendro.

Baca juga: Sejarah Banjir Jakarta dari 1950 hingga 1994

Van Breen kemudian membangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut melalui tepian barat kota.

Saluran kolektor yang dibangun Van Breen kini dikenal dengan nama Banjir Kanal Barat (BKB) yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai dan bermuara di kawasan Muara Angke.

Van Breen memilih Manggarai sebagai titik awal dengan alasan wilayah Manggarai merupakan batas selatan kota yang relatif aman dari gangguan banjir. Sehingga dengan diletakkan titik tersebut, sistem pengendalian aliran air menjadi lebih mudah.

Meski dirancang pada 1918, BKB mulai dibangun di tahun 1922 dan manfaatnya mulai terasa dikarenakan beban sungai di saluran utara Jakarta mulai terkendali.

Memang tidak sempurna, karena meski sudah dibangun dan dirasakan manfaatnya untuk pengendalian air menuju aliran sungai di utara Jakarta, tetap saja Jakarta tak bisa bebas dari banjir-banjir besar di musim hujan.

Namun, dengan pembangunan tersebut, warga di sebelah barat Ibu Kota relatif terbantu dengan adanya BKB.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

Megapolitan
Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Megapolitan
Golkar Buka Peluang Lanjutkan Koalisi Indonesia Maju pada Pilkada DKI 2024

Golkar Buka Peluang Lanjutkan Koalisi Indonesia Maju pada Pilkada DKI 2024

Megapolitan
Di Tanah Tinggi Hampir Mustahil Menyuruh Anak Tidur Pukul 10 Malam untuk Cegah Tawuran

Di Tanah Tinggi Hampir Mustahil Menyuruh Anak Tidur Pukul 10 Malam untuk Cegah Tawuran

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com