JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan dari salah satu objek wisata favorit Ibu Kota, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), ternyata sempat ditentang oleh mahasiswa dan kalangan intelektual.
Pasalnya, mereka menganggap rencana pembangunan TMII, yang dulu disebut Miniatur Indonesia Indah (MII), tidak sejalan dengan anjuran hidup prihatin dari Presiden Soeharto yang menjabat kala itu.
Proyek yang membutuhkan biaya Rp 10,5 miliar tersebut dianggap tidak bermanfaat banyak bagi masyarakat dan malah menghambur-hamburkan uang semata.
"Sama sekali tak bisa dikatakan bahwa proyek MII memang menduduki tempat teratas dalam skala prioritas pembangunan sehingga begitu urgen untuk diwujudkan sekarang juga," catat Mahasiswa Indonesia, 9 Januari 1972, dilansir dari historia.id.
Baca juga: Sejarah TMII, Ide Tien Soeharto yang Terinspirasi Disneyland
Kelompok penentang pembangunan MII kemudian menggencarkan dua strategi: demonstrasi dan diskusi.
Gerakan Penyelamat Uang Rakyat, misalnya, menyambangi sekretariat Yayasan Harapan Kita (YHK) dan membentangkan spanduk “Sekretariat Pemborosan Uang Negara” pada 23 Desember 1971.
YHK didirikan oleh istri Presiden Soeharto, yaitu Siti Hartinah atau dikenal dengan Tien Soeharto pada 23 Agustus 1968. Yayasan ini mendirikan banyak sarana kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan.
Tak lama setelah aksi bentang spanduk, sekelompok orang sekonyong-konyong muncul membawa senjata tajam. Mereka menyerang anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat.
Satu orang anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat lunglai, terkena bacokan. Kemudian suara tembakan terdengar.
Baca juga: Ambil Alih Pengelolaan TMII, Pemerintah Bakal Serahkan ke Pihak Lain
Kaca sekretariat YHK pecah dan seorang lagi anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat roboh. Peluru bersarang di pahanya.
Penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat menambah gelombang protes mahasiswa terhadap rencana pembangunan MII.
Antara lain dari organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.
Empat organisasi mahasiswa tersebut turun ke jalan, menuntut polisi mengusut penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat, dan meminta pemerintah menimbang ulang proyek MII.
Namun, tuntutan tersebut tak pernah didengar.
Baca juga: Pemerintah Beri Waktu 3 Bulan bagi Yayasan Harapan Kita Serahkan Pengelolaan TMII
Makin lama, gelombang protes semakin besar dan didukung banyak kalangan, termasuk para seniman dan intelektual seperti W.S. Rendra, Arief Budiman, H.J.C. Princen (Poncke), dan Mochtar Lubis.
Soeharto malah melihat gelombang protes tersebut sebagai gerakan politis untuk mengganggu kestabilan nasional. Ia memperingatkan para penentang untuk tidak bertindak di luar batas.
“Yang memakan kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum, demi kepentingan negara dan bangsa, saya akan gunakan Supersemar,” ancam Soeharto.
Pada 17 Januari 1972, Letjen TNI Soemitro, Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Wapangkopkamtib), melarang semua aktivitas gerakan anti-MII.
Petugas juga menahan beberapa tokoh penentang MII seperti Arief Budiman dan Poncke.
Baca juga: Akan Tata Ulang TMII, Kemensetneg Segera Bentuk Tim Transisi
DPR kemudian membentuk panitia khusus MII.
Panitia ini memanggil tokoh-tokoh penentang MII, perwakilan pemerintah dan YHK.
Mereka duduk bersama membahas sisi positif dan negatif pembangunan MII selama Maret 1972.
Rapat pembahasan itu berkeputusan bahwa YHK boleh melanjutkan pembangunan MII.
“Proyek itu boleh diteruskan dengan syarat tidak boleh menikmati fasilitas keuangan negara dan juga tak ada sumbangan wajib,” catat Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia.
Baca juga: 5 Anak Soeharto Digugat Rp 584 Miliar, Museum di TMII Diminta Ikut Disita
DPR meminta pemerintah membentuk badan pengawas untuk mengawasi aliran dana dan pembangunan MII. Di dalamnya termasuk tokoh budayawan dan intelektual.
Sejak itulah suara protes terhadap MII menjadi senyap.
Batu pertama pembangunan MII diletakkan pada 30 Juni 1972. Pada 20 April 1975, MII resmi dibuka dengan nama Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Pada tahun 1977, Soeharto mengeluarkan sebuah ketetapan yang mengatur bahwa pengelolaan TMII diberikan kepada YHK.
Setelah 44 tahun, pemerintah melalui Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg) akhirnya mengambil alih pengelolaan objek wisata tersebut agar dapat berkontribusi pada pendapatan negara.
"Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 19 Tahun 2021 tentang TMII. Yang di dalamnya mengatur penguasaan dan pengelolaan TMII dilakukan oleh Kemensetneg," ujar Mensesneg Pratikno, Rabu (7/4/2021). (Historia.id/ Hendaru Tri Hanggoro)
Artikel di atas telah terbit di Historia.id dengan judul "Gerakan Menentang Pembangunan TMII".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.