"Mereka itu bingung mau nanya ke siapa, enggak ada dokter pendampingnya. Kalau di luar negeri itu ada dari dokter yang tiap hari video call memantau kondisi pasien isolasi mandiri," kata Slamet kepada Kompas.com, Kamis (22/7/2021).
Dengan dipantau oleh dokter setiap harinya, maka bisa dilakukan deteksi dini sebelum terjadinya pemburukan.
Dokter bisa memberi penanganan yang tepat seperti memberi obat-obatan atau merujuk pasien ke RS.
"Tapi masalahnya jumlah dokter kita terbatas. Untuk menangani pasien di rumah sakit saja kurang, apalagi untuk memantau yang isolasi mandiri," katanya.
Baca juga: Pakar: Banyak Pasien Covid-19 Merasa OTG, Saat Rontgen Ternyata Ada Pneumonia
Faktor lain yang membuat banyak pasien isoman meninggal dunia adalah kurangnya ketersediaan obat-obatan dan oksigen.
"Sekarang dia mau beli obat enggak ada di apotek, oksigen apalagi. Ini jadi bencana kemanusiaan menurut saya," katanya.
Faktor ketiga adalah penuhnya rumah sakit rujukan Covid-19. Banyak pasien yang kesulitan dalam mencari rumah sakit karena hampir semuanya sudah penuh.
Pasien isolasi mandiri juga kerap baru datang ke RS setelah kondisi mereka memburuk.
"Rata-rata yang datang ke IGD itu sudah di bawah 90. Sudah terlambat sekali," katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes DKI Jakarta Lies Dwi Oktavia mengakui, peningkatan kasus infeksi di Jakarta dua bulan terakhir berpengaruh pada naiknya angka kematian.
Pada 15 Juli lalu, misalnya, kasus harian Covid-19 di Jakarta menyentuh angka tertinggi sebanyak 12.691 pasien.
”Pengalaman ini harus menghasilkan solusi bagaimana kita menekan risiko orang meninggal di rumah," katanya seperti dikutip dari Kompas.id.
Ia mengimbau warga yang tengah isolasi mandiri di rumah untuk melapor ke satuan tugas di lingkungan, baik RT, RW, maupun kelurahan.
"Satgas juga harus cari tahu kalau ada warganya yang isoman agar kebutuhan harian dan ketika sakit didukung,” ujarnya.
Adapun untuk pasien positif Covid-19 yang memiliki masalah medis atau penyakit pendukung lain, menurut dia, harus tetap mendapat kesempatan dirawat di rumah sakit.
Terkait pelaporan warga meninggal, Lies mengaku, Jakarta sudah memiliki sistem surveilans kematian sejak 2008.
Sistem itu terus dikembangkan agar dapat menyajikan data yang akurat dan terbuka untuk pengambilan kebijakan, seperti untuk penyediaan layanan jenazah dan pemakaman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.