JAKARTA, KOMPAS.com - Covid-19 bukan hanya penyakit sesaat yang akan lenyap ketika pasien sudah dinyatakan negatif.
Efek Covid-19 dapat berkepanjangan, tergantung pada kondisi tubuh masing-masing penyintas.
Nugroho Yudho (60) tahu betul itu.
Belum lama ini ia terpapar Covid-19 dan menjalani isolasi mandiri. Baru pada beberapa pekan lalu ia dinyatakan negatif. Tapi, apakah kondisi tubuhnya sudah kembali sehat?
"Saya baru tahu paru-paru saya buruk. Yang kanan, atas, tengah, bawah, semuanya kabut. Yang kiri, seluruhnya bercak," ujar Nugroho ketika berbincang dengan Kompas.com.
"Saya kena pneumonia. Kena infeksi viral di seluruh paru," lanjutnya.
Baca juga: Pakar Sarankan OTG Covid-19 Rontgen Toraks untuk Cegah Pemburukan Saat Isoman
Keadaan ini cukup ironis sebab Nugroho, walaupun sudah masuk usia lanjut, merupakan orang yang selama ini segar-bugar. Ia aktif bersepeda.
Ia pun mengaku, sejak 2016, ia tak pernah berobat ke dokter atau rumah sakit lantaran memang senantiasa dalam kondisi sehat.
"Kalau ngomong stamina, saya orang yang fit. Begitu kena Covid-19, tumbang," sebut Nugroho.
"Memang kombinasi. Bukan hanya harus fit, tapi umur jangan tua. Kalau orang tua mau fit kayak apa, pasti dibikin hancur (oleh Covid-19). Umur menentukan," ujarnya.
Cerita berawal ketika Nugroho menjemput istri yang baru selesai ikut hajatan doa bersama.
Setibanya di tempat berlangsungnya acara, Nugroho menyempatkan turun guna menyapa sejumlah rekan.
Baca juga: Pakar: Banyak Pasien Covid-19 Merasa OTG, Saat Rontgen Ternyata Ada Pneumonia
Keesokan hari, beredar kabar bahwa ada empat orang di acara itu yang positif Covid-19. Nugroho dan keluarga mengisolasi diri.
"Tapi berapa hari kemudian. Yang gejala malah aku. Kepalaku pusing banget, menggigil, aku langsung periksa," kata Nugroho.
Ia sempat menyangka dirinya tertular DBD. Namun, belakangan, hasil swab PCR menyatakan dirinya positif Covid-19. Istrinya negatif.
Nugroho menjalani isolasi mandiri di rumahnya di bilangan Cibubur. Program telemedicine yang ia ikuti rupanya hanya menyediakan resep obat. Ia perlu membawa resep itu dan menebusnya ke Apotek Kimia Farma.
Selama isolasi mandiri, ia merasa tubuhnya menggigil seperti terserang demam, padahal angka di termometer menunjukkan bahwa suhu tubuhnya hanya 35 derajat celsius.
Sakit kepalanya hebat. Ia mencurigai tertular varian lain virus SARS-CoV-2.
"Saya tidak kehilangan rasa dan penciuman, tapi rasa yang saya rasakan hanya asin dan pahit. Itu sebabnya nafsu makan saya hancur dalam proses dua minggu. Berat saya turun 8 kilogram," ungkap Nugroho.
Baca juga: Berakhir Hari Ini, Bagaimana Kelanjutan PPKM Level 4 di Jakarta?
Ia tak bisa dan tak berani tidur. Tiga menit sekali ia harus menghirup oksigen dari tabung. Saturasi oksigennya sering turun hingga 94, membuatnya kerap merasa terengah-engah.
Hari kedelapan dan sembilan setelah merasakan gejala, Nugroho berinisiatif untuk jalan-jalan mondar-mandir di rumah, memberikan gerak bagi tubuhnya supaya meningkat metabolisme.
Hari keempat belas, ia tes dan dinyatakan negatif Covid-19. Dari informasi yang ia terima, sejumlah penyintas Covid-19 mengalami pengentalan darah.
Karena keadaan badannya sempat drop, ia periksa ke laboratorium.
Ia memeriksakan darahnya, dengan melakukan cek hematologi lengkap ditambah pemeriksaan d-dimer (uji pengentalan darah), serta paru-parunya dengan melakukan rontgen toraks.
"Saya dapatkan d-dimer saya tinggi. Normalnya orang 500, saya 2.100," ungkapnya.
Baca juga: PGC Dibuka Lagi, Pengunjung Harus Tunjukkan Bukti Vaksinasi Covid-19
Hasil rontgen paru-paru Nugroho, seperti sudah disinggung di awal artikel ini, juga tak membawa kabar baik.
Nugroho menderita pengentalan darah dan pneumonia karena Covid-19, walaupun sudah negatif.
Keadaan ini tidak terdeteksi karena ia menjalani isolasi mandiri, bukan dirawat di rumah sakit di mana kesehatannya terpantau oleh dokter dan sewaktu-waktu dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Nugroho enggan meratap. Dokter memberinya obat antivirus guna melenyapkan infeksi di paru-parunya. Tapi, obat itu tidak dapat menghilangkan kabut dan bercak di paru-parunya.
"Menghilangkannya harus terapi dan latihan fisik," kata dia.
Masalahnya, latihan fisik dengan keadaan darah mengental justru bisa mengundang risiko kesehatan lain yang tak kalah bahaya.
Darah yang mengental dapat menghambat aliran darah. Olahraga akan menaikkan detak jantung, sedangkan pembuluh darah mungkin tersumbat. Efek terburuk yang menghantui adalah serangan jantung dan stroke.
Baca juga: Anies Sebut Warga yang Sudah Divaksin Dua Kali Bisa Bebas ke Mana Saja
Nugroho terpaksa harus mengendalikan kekentalan darahnya terlebih dulu. Ia mengonsumsi semua asupan yang diperlukan untuk mengencerkan darah, semisal nanas dan kacang almon, juga mengonsumsi obat antistroke.
Sedikit berhasil. Indikator d-dimer dalam pemeriksaan kali kedua sudah turun ke 1.400. Namun, angka itu masih jauh dari 500.
Butuh waktu lama agar kekentalan darah itu bisa kembali normal, sedangkan paru-paru Nugroho butuh segera diterapi. Dokter kemudian memberikannya obat pengencer darah.
"Obat pengencer darah biasanya efektif, tapi obat ini juga bahaya. Kalau penggumpalannya tidak tinggi, malah bisa pendarahan. Tersayat sedikit darah bisa keluar tidak habis-habisnya," ungkapnya.
Baca juga: Pemprov DKI Tunggu Keputusan Perpanjangan PPKM
Nugroho tak mau hanya mengandalkan obat pengencer darah. Sebagai orang yang selama ini doyan olahraga, ia juga melatih tubuhnya dengan berjalan kaki selama 4-5 jam, dengan jarak 10 kilometer lebih.
"Saya belum berani bersepeda lagi. Saya sering enggak bisa kontrol. Jalan kaki itu detak jantungnya paling 120-130. Kalau sepeda, saat kita terbawa, bisa 165," tambahnya.
Ikhtiar itu membawanya segera sembuh. Berdasarkan pemeriksaan teranyar yang hasilnya terbit kemarin, indikator d-dimer dari tes darah Nugroho sudah kembali ke kisaran 400.
Nugroho merasa dirinya cukup terlambat memeriksakan darah dan paru-parunya. Ia pun menyarankan supaya para penderita Covid-19 segera memeriksakan darah dan paru-paru secepat mungkin.
"Sebaiknya orang yang memilih untuk berobat mandiri, isolasi mandiri, sebaiknya begitu dinyatakan positif, langsung memeriksakan darahnya, cek hematologi lengkap, lalu sebaiknya juga cek d-dimer, toraks, dan komorbidnya. Punya riwayat gula, periksakan gulanya. Sebaiknya orang melakukan itu semua di awal Covid-19," jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban juga menyebutkan bahwa pasien Covid-19 kemungkinan memiliki pneumonia di paru-parunya.
"Ternyata cukup lumayan (banyak) orang yang OTG atau gejala ringan itu kalau dirontgen ditemukan ada pneumonia. Harusnya OTG dan gejala ringan yang rontgennya ada pneumonia itu dirawat inap," jelas Zubairi kepada Kompas.com.
Baca juga: Anies: Jakarta Zona Aman Covid-19 jika Positivity Rate di Bawah 5 Persen
"Kalau RS penuh ya harusnya dirawat di Wisma Atlet. Kalau semuanya penuh ya minta berobat di IGD Covid-19, minta obatnya, kemudian diobati di rumah namun dimonitor dengan IGD rumah sakit tersebut," ungkapnya.
Masalahnya, tak sedikit orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 dari hasil tes PCR merasa dirinya baik-baik saja dan hanya mengalami gejala ringan seperti batuk, demam, dan sedikit sesak napas.
Hal itu yang kerap menimbulkan keyakinan bahwa mereka akan aman saat menjalani isolasi mandiri.
"Ada orang yang merasa OTG, namun ketika diukur suhunya 38 derajat, (ia menjawab), 'Iya, kemarin aku 38 derajat, tapi sekarang setelah minum parasetamol sudah turun'. Ini sebetulnya bukan OTG," jelas Zubairi.
"Atau pasien ada batuk-batuk dengan sesak, itu bukan OTG," lanjutnya.
Baca juga: Penumpang MRT Jakarta Turun Selama PPKM Darurat dan Level 4, Hanya 5 Persen dari Kapasitas
Ia menyarankan agar orang yang positif Covid-19 segera menindaklanjuti hasil tes PCR-nya dengan foto rontgen toraks untuk mengetahui kemungkinan adanya pneumonia di paru-parunya.
Penanganan yang terlambat dapat berakibat fatal.
"Semua orang yang positif PCR itu memang wajib thorax photo. Mengapa? Cukup banyak pasien yang datang ke RS rujukan dalam sesak napas," kata dia.
"Sudah terlambat karena selama di rumah merasa OTG atau gejala ringan yamg hanya perlu isolasi mandiri," pungkas Zubairi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.