JAKARTA, KOMPAS.com - DKI Jakarta akrab dengan banjir. Ada beberapa penyebab banjir di Ibu Kota.
Pertama, banjir akibat hujan di hulu. Sebagai contoh, saat Kali Ciliwung meluap karena air kiriman dari Depok atau Katulampa, wilayah-wilayah rawan seperti Kampung Melayu, Jakarta Timur, atau Rawajati, Jakarta Selatan, berpotensi besar kebanjiran.
Kedua, banjir akibat hujan lokal. Kasus teranyar terjadi pada 18 Januari 2022. Setidaknya ada 19 lokasi di Ibu Kota tergenang karena hujan deras.
Baca juga: Saat 47 Kelurahan di Jakarta Rawan Terkena Banjir, Genangan Terjadi Tiga Tahun Berturut-turut
Selanjutnya, banjir akibat rob (pasang surut air laut). Pesisir utara Jakarta akrab dengan fenomena itu.
Dari semua itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta sebagai lembaga yang bertanggung jawab menanggulangi bencana seperti banjir selalu mengeluarkan peringatan dini.
Akun media sosial BPBD DKI Jakarta selalu mengeluarkan informasi terbaru terkait ketinggian pintu air, potensi hujan lebat, hingga prediksi cuaca ekstrem.
Peringatan dini ketika suatu wilayah akan terjadi banjir juga selalu diinformasikan.
Informasi peringatan dini itu nantinya juga akan disebar ke kelurahan hingga RT/RW di wilayah yang disebut.
"Peringatan-peringatan dini itu bermanfaat untuk kesiapan supaya tidak terjadi kerugian. Misalkan ketinggian air di Depok, Katulampa (siaga 1), nah itu sebagai acuan warga untuk bergerak menyiapkan apa yang perlu diselamatkan," kata Kepala Seksi Darurat dan Penanganan Pengungsi BPBD DKI Wardoyo.
Baca juga: Banjir Selalu Jadi PR Setiap Gubernur Jakarta
Wardoyo mengimbau warga agar segera mengungsi jika sudah mendapatkan perintah dari BPBD DKI atau kelurahan.
Biasanya, peringatan mengungsi itu ketika ketinggian air di wilayah terdampak sudah mencapai 50 sentimeter, kemudian akan ditambah banjir kiriman.
Saat ada peringatan banjir kiriman misalnya, warga masih memiliki waktu untuk menyelamatkan barang-barangnya.
"Artinya sebenarnya masyarakat itu kalau mau mengikuti imbauan, tidak perlu ada evakuasi," ujar Wardoyo.
Tidak ada yang lebih mahal dari jiwa. Prinsip itu dipegang oleh BPBD DKI dan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI saat terjadi banjir.
"Artinya jiwa (orang) harus diselamatkan lebih dulu," kata Wardoyo.