Oleh: Frangky Selamat*
SEORANG kolega dari Malaysia yang sedang berkunjung ke Jakarta dalam rangka program pertukaran mahasiswa mengeluhkan ketiadaan petunjuk jalan berbahasa Inggris di jalan-jalan yang dia telusuri di Jakarta.
Walau banyak kemiripan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu, tetap saja belum cukup membantu. Bahasa Inggris masih dirasa lebih mudah dimengerti baginya.
Ia membandingkan dengan kondisi di negaranya yang terbiasa akrab dengan bahasa Inggris, selain bahasa Melayu sebagai bahasa resmi negara.
Ya, bahasa Inggris telah menjadi keseharian di negara tetangga dekat kita ini. Tak heran jika penduduk Malaysia cukup fasih berbahasa Inggris dengan logat khasnya.
Sementara di Indonesia, walau bahasa Inggris bukan bahasa kedua, apalagi diakui resmi, namun sebagian masyarakat sesungguhnya cukup “fasih” berbahasa Inggris.
Kebiasaan sejumlah orang Indonesia mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris sudah menjadi hal biasa.
Bukan karena tidak ada padanan bahasa Indonesia-nya, tetapi mungkin dirasa lebih keren dan dipandang lebih “berpendidikan” ketimbang menggunakan bahasa Indonesia secara penuh.
Di televisi dan radio, kombinasi bahasa Indonesia dan Inggris sudah hal biasa. Penyiar radio terbilang yang paling getol berbahasa Inggris dan Indonesia setengah-setengah.
Untung saja sejumlah media cetak masih cukup disiplin menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Minimal tidak campur aduk.
Bahkan berupaya mencari dan mensosialisasikan kepada publik padanan kata yang tepat sesuai KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Akrabnya orang Indonesia, dari pejabat negara, figur publik, reporter, pembawa acara, artis hingga orang awam, biasa berbahasa Indonesia campur bahasa Inggris.
Belum lagi ketidakpahaman penggunaan bahasa Indonesia yang suka salah kaprah. Misalnya tidak dapat membedakan kapan menggunakan kata “kita” dengan “kami”. Sungguh bikin runyam.
Selain “fasih” berbahasa Inggris, istilah asing yang sesungguhnya sudah ada padanan Bahasa Indonesia-nya, lebih sering digunakan. Mungkin, sekali lagi, terdengar lebih keren, lebih internasional.
Ironis juga, padahal Bahasa Indonesia diproyeksikan akan menjadi salah satu bahasa internasional.
Terakhir penamaan “Jakarta International Stadium/JIS” menuai kontra lantaran tidak sesuai dengan Undang-Undang No 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Pasal 36 ayat 3 berbunyi, ”Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.”
Pihak yang pro mengungkapkan penamaan itu akan membuat Jakarta sejajar dengan kota-kota megapolitan lainnya di dunia. JIS terdengar lebih wah ketimbang SIJ (Stadion Internasional Jakarta)? Entahlah.
Sebagai brand (jenama), nama JIS mungkin lebih menjanjikan ketimbang SIJ. Kotler dan Keller (2016) mengungkapkan enam kriteria nama brand yang dapat menjadi pilihan.
Pertama, mudah diingat. Nama brand yang baik semestinya singkat dan mudah diucapkan sehingga dapat diingat konsumen. Penamaan “JIS” rasanya telah memenuhi syarat itu.
Kedua, memiliki arti. Nama brand yang bagus itu sepatutnya terkait langsung dengan kategori produk. Nama “JIS” hanya sebuah singkatan yang jika berdiri sendiri tidak memiliki arti.
Ketiga, disukai. Nah, penamaan “JIS” terdengar cukup estetik daripada “SIJ”.
Keempat, dapat diterjemahkan. Nama brand yang baik itu dapat diterjemahkan dan memiliki arti yang positif. Nama “JIS” hanya sebuah singkatan dan tidak dapat diterjemahkan.
Kelima, dapat beradaptasi. Brand dapat abadi dan mengikuti perkembangan zaman jika nama tersebut mampu beradaptasi dan terlihat modern. Pihak pro “JIS” pasti setuju nama ini dapat terus beradaptasi dalam dunia yang dinamis.
Keenam, dapat memperoleh perlindungan. Nama brand dapat memperoleh perlindungan HKI karena tidak generik atau berlaku umum.
Tiga kriteria pertama berperan membangun brand, sedangkan tiga berikutnya bersifat defensif dan membantu melestarikan brand ketika menghadapi tantangan zaman.
Terlepas dari itu semua, tampaknya kebanggaan sebagian warga negara Indonesia terhadap bahasa Indonesia patut diragukan, seperti juga kurangnya kebanggaan terhadap brand lokal ketimbang brand asing.
Tanpa bermaksud menyalahkan pihak manapun, momen hari Kebangkitan Nasional mungkin saat yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk merefleksi rasa kebangsaan yang tercermin dari sikap dan perilaku sehari-hari. Dari bagaimana berbahasa, berkomunikasi, pencantuman nama, dan lain-lain.
Kembali ke keluhan kolega dari Malaysia di awal tulisan ini, dia berpikir orang Indonesia sedemikian disiplin dan bangga dengan bahasa Indonesia sehingga tidak menyisakan ruang untuk bahasa asing sebagai petunjuk jalan. Mungkin ya, barangkali tidak.
Aha, belum tahu dia...
*Frangky Selamat, Dosen Tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.