PADA Senin 18 Juli 2022 sore, kita semua mendapat berita kecelakaan tragis antara truk tangki BBM milik Patra Niaga dengan sejumlah kendaraan di turunan CBD jalan alternatif Cibubur (Transyogi).
Kecelakaan tersebut menyebabkan 10 orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka.
Kecelakaan ini tentunya tidak hanya membuat sedih keluarga korban, namun juga menimbulkan ketakutan bagi pengguna jalan.
Pihak Polda Metro Jaya memang telah menetapkan dua orang tersangka, yakni sopir dan kernet truk tangki, sehari setelah kejadian.
Namun bersamaan dengan kecelakaan tersebut pula, muncul petisi agar lampu merah CBD yang berada di dekat TKP laka lantas tersebut ditutup.
Dalam petisi yang sama disampaikan dugaan bahwa keberadaan lampu merah tersebut cukup berbahaya di mana sebelumnya telah terjadi beberapa kecelakaan.
Pengalaman saya berkunjung ke CBD sekitar 1-2 tahun lalu, lampu merah tersebut belum ada. Untuk menuju Jakarta (Cibubur), pengendara yang berasal dari CBD harus berbelok ke kiri dan berputar di U-turn yang jaraknya sekitar 500-1 km.
Kondisi ini berlaku tidak hanya untuk komplek CBD, namun juga untuk perumahan lain yang berada di sekitar jalan alternatif Cibubur seperti Kota Wisata dan sebagainya.
Maka ketika terjadi kecelakaan tersebut, dan ada beberapa pihak yang turut menyalahkan lampu merah, ingatan saya membuka memori pengalaman berkendara di sana.
Situasi jalan menurun menambah risiko bagi pengendara jika berhenti ketika lampu merah.
Dirlantas Polda Metro Jaya menyatakan akan turut meminta keterangan pihak Dishub Kota Bekasi dan pengembang perumahan CBD.
Pernyataan ini penting untuk menemukan pihak-pihak yang memenuhi unsur pidana sehingga terjadi kecelakaan, selain tentunya awak truk tangki.
Misalnya apakah keberadaan lampu merah CBD memang sesuai dengan standar keamanan lalu lintas? Jika tidak, maka perlu diusut pihak yang memasang lampu merah tersebut.
Dishub Kota Bekasi berdasarkan rilis pada 25 Januari 2022, menyatakan bahwa keberadaan lampu merah CBD merupakan permintaan pengembang.
Pernyataan ini bisa menjadi petunjuk untuk penyidik dalam mengembangkan perkara.
Meski lampu merah tersebut permintaan pengembang, pihak regulator (Dishub Bekasi) bukan berarti bisa lepas tanggungjawab.
Dishub Bekasi sebagai pihak yang berwenang mengizinkan atau tidak mengizinkan suatu rekayasa lalu lintas, termasuk keberadaan lampu merah, tentunya memiliki andil terhadap keberadaan lampu merah tersebut.
Kasus ini mungkin bisa menjadi momentum penyidikan laka lantas yang tidak hanya berhenti kepada sopir.
Kasus kecelakaan bus Premium Passion di Subang pada Februari 2018, tentunya bisa menjadi contoh bagi penyidik yang menangani kasus laka Cibubur.
Selain menjerat sopir, polisi juga menetapkan mekanik bus sebagai tersangka. Pasalnya, sang mekanik bus memaksa sopir terus berjalan meski sudah melapor ada kerusakan rem.
Pengembangan penyidikan yang tidak hanya berhenti di pihak sopir tentunya akan memberikan peringatan kepada semua pihak yang terkait dengan operasional kendaraan dan manajemen rekayasa lalu lintas.
Bahwa peran mereka turut memengaruhi selamat atau tidaknya masyarakat yang sedang berlalu lintas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.