Jaki, sopir angkot M 09 jurusan Tanah Abang-Kebayoran Lama kini harus membayar lebih untuk pengeluaran bensin sampai Rp 50.000 sehari.
Sementara itu, tidak ada sinyal jumlah setoran ke pemilik angkot sebesar Rp 120.000 sehari akan turun.
”Kita sendiri susah kasih tau penumpang kalau ongkos naik. Syukur kalau ada yang bayar Rp 5.000 arau Rp 6.000. Masih banyak penumpang yang bayar Rp 2000, Rp 3.000,” kata Jaki.
Sopir lain seperti Ratno juga semakin miris dengan kondisinya. Selain karena faktor penumpang yang semakin sepi, kenaikan harga BBM dan daya bayar penumpang membuatnya hanya membawa sedikit uang buat keluarga di rumah.
”Pemerintah mana mau tahu anak istri nunggu di rumah, padahal saya enggak bisa bawa pulang banyak uang. Narik empat jam cuma bisa bawa pulang Rp 60.000, padahal dulu bisa Rp 100.000,” ungkapnya.
Baca juga: Jeritan Sopir Angkot Saat Harga BBM Naik, Biasanya Bensin Tahan 3 Hari, Sekarang Cuma 2 Hari
Baik Jaki maupun Ratno semakin malas membawa angkot untuk penumpang. Mereka lebih senang keluar pagi-pagi sekali di Pasar Tanah Abang agar angkotnya bisa dipakai untuk disewa para pedagang.
Bayarannya lebih besar daripada penghasilan menjalankan angkot sesuai trayek dengan jumlah penumpang tak tentu.
Di Jakarta ada sekitar 4.400 mobil dari total 6.600 mobil angkot yang belum terintegrasi dalam manajemen PT Transjakarta melalui ekosistem Jaklingko.
Artinya, pengemudi mobil angkot itu masih harus mengejar setoran sehingga bernasib sama dengan sopir bus yang diceritakan sebelumnya.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, mereka sedang membahas rencana kenaikan harga tarif angkot reguler itu bersama Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) DKI Jakarta dan Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ).
Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas tidak setuju harga BBM untuk angkutan umum ikut naik.
Kebijakan itu sebaiknya difokuskan kepada kendaraan pribadi agar mendorong masyarakat berhemat BBM hingga beralih ke transportasi angkutan massal.
Biaya angkutan penumpang dan barang tidak naik agar tidak berdampak luas kepada kenaikan harga barang (Kompas.id, 5/9/2022).
Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), juga menyarankan agar pemerintah menyubsidi BBM yang digunakan angkutan barang dan penumpang umum.
Ini dinilai lebih mudah karena Kementerian ESDM di 2012 mendata, angkutan umum hanya menggunakan 3 persen BBM bersubsidi.