JAKARTA, KOMPAS.com – Kawasan Pulomas di Kelurahan Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur, semakin dikenal dunia internasional setelah menjadi tempat laga cabang ketangkasan berkuda dan cabang olah raga sepeda BMX di perhelatan Asian Games 2018.
Sebagai salah satu tempat laga Asian Games, Jakarta International Equestrian Park (JIEP) Pulomas jadi panggungnya atlet-atlet se-Asia meraih prestasi terbaik di cabang berkuda.
Arena laga ini disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia, bukan hanya di Asia.
Pencapaian ini hasil dari revitalisasi yang dilakukan PT Pulo Mas Jaya dengan biaya Rp 417 miliar.
Arena seluas 35 hektar itu dapat dipakai untuk lomba nomor jumping, dressage, cross country, dan trilomba berkuda yang menggabungkan ketiga nomor.
Baca juga: Diprotes Pesepeda, Polisi Tidur di Pulomas Dibongkar
Tidak hanya itu, Pulomas makin banyak kedatangan tamu mancanegara sejalan dengan adanya arena laga cabang BMX—kelas dunia juga—bernama Pulomas International BMX Center.
Pembangunan area di lahan dua hektar itu menelan biaya Rp 8 miliar.
Fasilitas-fasilitas kelas dunia itu belum terbayangkan 50 tahun lalu. Kawasan Pulomas yang berada di belahan timur Kota Jakarta kala itu hanya berupa sawah-sawah dan tanah kosong.
Keberadaan sawah di masa lampau berkaitan erat dengan adanya kata “pulo” atau pulau untuk unsur nama Pulomas. Kata “pulo” di Pulomas bukan satu-satunya dipakai untuk menyebut sebuah kawasan.
Dikutip dari harian Kompas, Ketua RT 009 RW 016, Kelurahan Kayu Putih Mursidi (65) menceritakan, kampung-kampung itu dinamai “pulo” karena pada masa lampau berada di antara sawah-sawah tadah hujan.
Baca juga: Warga di Dekat JIS Digusur, Wagub Sebut Relokasinya Kewenangan PJ Gubernur
Sewaktu musim hujan tiba, air masuk ke hamparan persawahan sehingga menjadi mirip lautan yang mengelilingi ”pulau-pulau” kampung dan tanah.
Meski demikian, Mursidi tidak tahu awal mula kata “pulo” digunakan. Demikian juga soal ada-tidaknya kaitan dengan logam mulia emas di balik nama Pulomas.
”Nama Pulomas sudah terdengar sejak saya ingat,” kata pria yang sejak lahir tinggal di Pulau Nangka..
Warga senior di Pulo Nangka, Aspas (80), menceritakan, Pulomas dan sekitarnya dahulu tergolong sepi dan rawan. Jarak antarrumah berkisar 400-500 meter.
”Sebelum tahun 1970-an, kalau sudah maghrib saja pada takut lewat. Seram,” ujarnya.
Aspas menambahkan, penghuni kampung-kampung di sekitar Pulomas waktu itu kebanyakan orang Betawi.
Baca juga: Kilas Balik Sejarah Jakarta: Asal-usul Nama Kampung Bali di Tanah Abang
Pekerjaan mereka mayoritas adalah petani, menggarap sawah-sawah tadah hujan yang ada. Mursidi merupakan salah satu petani tersebut.
Keluarga Mursidi punya sawah empat hektar, dengan dua hektar di antaranya berlokasi di Pulogadung, sedangkan lainnya di kawasan yang sekarang masuk Kelapa Gading.
Ia menuturkan, dari empat hektar tersebut, keluarganya bisa memanen rata-rata 15 ton padi per tahun. Sawah hanya bisa ditanami setahun sekali, yakni setiap musim hujan datang.
Tahun 1963, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memprakarsai pendirian Yayasan Perumahan Pulo Mas, yang dipimpin presiden direktur bernama JP Darussalam.
Mereka menyiapkan pembangunan kota satelit DKI di daerah Pulomas, di sisi timur Jakarta.
Proyek dilaksanakan pada lahan seluas 350 hektar, guna membangun sekitar 10.000 rumah sehingga akan menampung lebih kurang 50.000 penduduk Ibu Kota.
Baca juga: Ketua DPRD DKI Pertanyakan Usulan Nama Jalan Ali Sadikin yang Belum Dieksekusi Anies
Pelaksanaan proyek ini menjadi penanda akhir riwayat sawah di kawasan Pulomas dan sekitarnya.
Pemerintah juga memprakarsai pembangunan gelanggang pacuan kuda di Pulomas yang diresmikan Gubernur Ali Sadikin pada Agustus 1971.
(Harian Kompas : J Galuh Bimantara/Kompas.com : Ryana Aryadita Usamugi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.