Pengalaman saya yang pernah menjadi ketua TGUPP di sebuah provinsi di luar Pulau Jawa membuktikan, keberadaan TGUPP memang dibutuhkan oleh kepala daerah untuk mengawal penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, merevisi APBD yang telah berjalan agar bisa selaras dengan visi misi gubernur dan wakil gubernur yang terpilih, mencari terobosan ke Pemerintah Pusat agar sinkron dengan program daerah dan lain-lain.
Masa kerja TGUPP terkadang tidak terbatas dan kerap “begadang” apalagi diberi tengat waktu tertentu oleh kepala daerah.
Hanya saja harus diakui, personel TGUPP memang tidak terlepas dari penunjukkan gubernur dan wakil gubernur yang kerap dari sisi kompetensi dan kapabiltasnya sangat memprihatinkan.
Sempat saya memiliki anggota yang selalu “bervisi” mencari proyek dan mencari “komisi”, hanya saja karena “pesanan” dari kepala daerah membuat saya hanya bisa membatasi dan memblokir sebisa mungkin gerak usaha anggota TGUPP yang terlalu “kreatif” ini.
Sahabat saya yang juga menjadi anggota TGUPP di sebuah provinsi di Jawa, begitu efektif mendukung kerja gubernur yang dikenal banyak melakukan inovasi dan mendulang aneka penghargaan untuk daerahnya.
Bukan menjadi rahasia umum, “jam kerja” para birokrasi sangat tidak lentur. Mereka bekerja hanya sesuai jam kerja normal dan kerap keberatan jika diajak begadang jika tidak ada insentif.
Keberadan TGUPP bisa dikatakan menjadi akselerator program-program kepala daerah yang butuh eksekusi cepat. Jadi keberadaan TGUPP tidak selalu berkonotasi “minus”
Pernyataan Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Johan yang mengkritik tekad Pejabat Gubernur DKI Heru Budi Hartono untuk tidak membutuhkan TGUPP bisa dipahami mengingat Heru bukanlah politisi.
Sebagai birokrat yang tidak memiliki visi misi dan janji politik ke masyarakat harusnya tetap menjalankan program kegiatan yang telah ada (Kompas.com, 28/10/2022).
Djohermansyah malah menyarankan Heru untuk”menghidupkan” TGUPP tetapi hanya diisi kalangan profesional sembari mengefektifkan semua dinas guna menjalankan program yang telah ada.
Amanah Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Rencana Pembangunan Daerah (RPD) 2023 – 2026 yang telah diteken Anies Bawedan harus dijalankan dengan baik.
Dengan mempertimbangkan efektifitas kerja dan program yang harus dijalankan Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heri Budi Hartono terutama sesuai dengan tiga sasaran yang akan diprioritaskan: kemacetan, banjir dan tata ruang maka mau tidak mau, eksistensi TGUPP di DKI Jakarta memang diperlukan.
Hanya saja, saya pun juga tidak sepakat dengan pemborosan anggaran demi “menampung” tim sukses, alih-alih yang tidak kapabel dan tidak kompeten mendapat wadah di TGUPP.
Mekanisme kerja dan hasil kerja TGUPP harus terukur dan memiliki target kerja yang jelas.
Tingkat pendidikan dan pengalaman kerja personel TGUPP memang mumpuni serta memiliki komitmen untuk tidak “mencari” proyek.
Jumlah personel TGUPP haruslah minimal, tetapi efektif. Dengan jumlah lima personel ditambah tiga tenaga administrasi pendukung, sudah cukup bagi TGUPP untuk bekerja membantu meringankan kepala daerah.
TGUPP bukan sekadar “Tim Gubernur untuk Persiapan Pensiun” atau malah “Tim Gubernur untuk Persiapan Pencapresan”, tetapi hendaklah sesuai dengan marwahnya membantu kepala daerah agar persoalan pemerintahan dituntaskan dengan cepat sehingga masyarakat mendapat sentuhan program pemerintah yang tepat sasaran.
Sekali lagi, perlu tidaknya keberadaan TGUPP kembali berpulang kepada komitmen Penjabat Gubernur DKI Jakarta.
Rakyat Jakarta harus mendapat haknya sebagai warganegara karena mereka telah membayar pajak. Setiap tetes pajak yang dibayarkan adalah untuk membiayai pembangunan, termasuk menggaji aparat pemerintahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.