Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Label Psikopat yang Bisa Menguntungkan Pelaku

Kompas.com - 29/10/2022, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APA yang menarik dari banyak kasus kekerasan atau pembunuhan yang melibatkan seseorang dengan perilaku kejahatan yang ekstrem adalah penyebutan kepribadiaannya sebagai sesuatu yang tak lazim.

Sebutan psikopat, sosiopat, atau gangguan kepribadian antisosial yang justru akan memberikan bahan pembelaan diri.

Para pelaku ada yang secara sengaja melakukan perilaku bertentangan dengan perilaku jahatnya, dengan tujuan memanipulasi sangkaan atau persepsi.

Tujuannnya jelas mengaburkan motif kejahatan untuk melawan logika normal ke ranah psikologis yang diduga akan dapat meringankan tindak kejahatan, atau menjadi alibi-meloloskan tuduhan.

Atau dalam realitas yang tidak dimanipulasi, perilaku itu memang perilaku sebenarnya dari seorang psikopat atau sosiopat.

Seperti yang ditunjukkan oleh tokoh Hannibal Lecter sang pembunuh berantai dalam The Silence of the Lambs.

Debat ini mengemuka dalam kasus kematian AYR (36) ketika “senyum si pembunuh” terekam CCTV.

Secara sepihak kita menyimpulkan si pelaku “mengidap kelainan spiskologis” karena bersikap normal dan seolah senang karena mission accomplished-sukses membunuh. Di sisi lain, juga bisa dipicu dari perlakuan korban terhadap pelaku.

Gambaran sikap itu kurang lebih seperti ketika seseorang marah dan kemudian pitam. Atau perilaku tantrum pada anak, ditandai ekspresi frustrasi atau amarah yang diungkapkan anak saat ia menghadapi masalah.

Dalam tahapan itu, psikologisnya akan terganggu. Antara kesadaran telah melakukan kejahatan, dan kebingungan atas perilaku dan konsekuensinya seperti malu atau justru sinis dan bingung.

Jika sedari awal pelaku telah kita sangkakan secara psikologis mengalami gangguan, justru akan menjadi alibi menguntungkan bagi si pelaku.

Begitu juga saat dikoordinasikan dengan psikiater untuk memastikan kondisi kejiwaan, jika terbukti benar, dapat menjadi “senjata” pelaku memanipulasi kondisi spikologisnya.

Apalagi dalam kasus pelaku psikopat atau sosiopat yang lihai seperti halnya Hannibal Lecter, atau pelaku berkepribadian ganda yang kita kenal dalam film Dr Jekyll dan Tuan Hyde dalam novel penulis Skotlandia Robert Louis Stevenson (1886).

Pemicu kejahatan

Rudolf Tobing, tersangka pembunuhan Ade Yunia Rizabani, hanya menunduk dan terdiam saat konferensi pers di Polda Metro Jaya, Senin (24/10/2022).Tangkapan layar Youtube Rudolf Tobing, tersangka pembunuhan Ade Yunia Rizabani, hanya menunduk dan terdiam saat konferensi pers di Polda Metro Jaya, Senin (24/10/2022).
Terlepas dari motif pelaku, pertanyaan mendasar dari sebuah kasus kejahatan adalah, mengapa melakukan kejahatan atau pembunuhan?

Menurut Margaretha, dosen psikologi forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, muasalnya bisa dijelaskan dari pemahaman tentang definisi kejahatan, sebagai perilaku pelanggaran aturan hukum, baik langsung maupun tidak langsung.

Begitu juga bentuk kelalaian yang berkonsekuensi hukuman. Perspektif ini menunjukkan perilaku kejahatan aktif.

Namun sebenarnya, tidak berperilaku pun bisa menjadi suatu bentuk kejahatan, seperti penelantaran anak, atau tidak melaporkan kasus kejahatan ketika mengetahui terjadi tindakan kekerasan di sekitar kita.

Walaupun melapor merupakan suatu hak dan kewajiban, namun KUHAP tidak mengatur sanksi jika seseorang tidak melapor telah terjadinya tindak pidana.

Peraturan yang tidak diikuti sanksi atau akibat hukum dalam teori disebut sebagai lex imperfecta atau peraturan tidak sempurna.

Dalam lex imperfecta, peraturan melarang atau sebaliknya memerintahkan dilakukannya suatu perbuatan tetapi pelanggaran terhadap peraturan, tidak diancam dengan sanksi atau akibat hukum.

Faktor psikologis pelaku kejahatan didasari oleh perspektif moral, yang akan dikategorikan sebagai kejahatan jika didasari oleh:

Pertama, mens rea, adanya niatan melakukan perilaku kejahatan, seperti didasari rasa cemburu, sakit hati.

Kedua, actus reus, tindakan perilaku kajahatan dilakukan tanpa paksaan dari orang lain.

Kasus termutakhir yang tengah menjadi perdebatan adalah, tindakan Bharada Eliezer dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua, atas tekanan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo. Penembakan dilakukan setelah mendapat instruksi dan tekanan dari komandannya.

Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan niatnya terjadi di luar kesadaran, atau faktor mens rea-nya dianggap tidak utuh (seperti kasus Bharada Eliezer).

Begitu juga kejahatan tidak bisa dinyatakan sebagai kejahatan, karena pelakunya orang dengan gangguan mental (ODGJ) tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya (Davies, Hollind, & Bull, 2008).

Seperti kasus penyerangan, tindak kekerasan penganiayaan ulama saat menjelang pilkada dan pilpres yang motifnya mirip kasus Banyuwangi 1998, serangan yang menyasar orang-orang yang berlatar dukun, termasuk guru mengaji, dan dukun suwuk (penyembuh).

Latah sebut psikopat

Menurut teori kejahatan, wujud perilaku tindak kejahatan bahkan dapat dideteksi dari sisi fisik, selain psikologis.

Sehingga latah penyebutan seseorang yang melakukan kejahatan secara ekstrem dapat bersifat manipulatif atas dasar tafsir fisik yang salah.

Awam akan menilai perilaku jahat hanya dari permukaan sebagaimana pandangan kajian Psikologi Forensik, yang mengenal beberapa pendekatan teoritis untuk menjelaskan perilaku kejahatan.

Cesare Lombroso, seorang kriminolog Italia (1876) menjelaskan teori ‘determinisme antropologi’.

Menurut Lombroso, kriminalitas adalah ciri yang diwariskan, seseorang bisa lahir sebagai “kriminal”, identifikasinya melalui ciri fisiknya; rahang besar, dagu condong maju, dahi sempit, tulang pipi tinggi, hidung pipih atau lebar terbalik, dagu besar, sangat menonjol dalam penampilan, hidung bengkok atau bibir tebal, mata licik, jenggot minim atau kebotakan dan ketidakpekaan terhadap nyeri, serta memiliki lengan panjang.

Lombroso bahkan menyebut laki-laki dominan sebagai pelaku, sedangkan jika dilakukan perempuan artinya terjadi degenarasi atau kemunduran atas psikologisnya.

Atas dasar itu, sebutan seseorang sebagai penjahat psikopat atau sosiopat bisa saja disematkan setelah melibat tampilan fisiknya.

Hanya saja itu bukan jaminan satu-satunya, bahwa ketika seseorang berpenampilah antagonis berarti jahat, sedangkan protagonis otomatis baik. Psikopat justru memainkan peran itu dengan sangat lihai.

Barangkali sisi pandangan Psikoanalisa, Sigmund Freud tentang ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego dan Superego membuat manusia lemah dan akibatnya lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang atau kejahatan.

Dugaan bahwa pembunuh AYR berada dalam situasi yang dinyatakan Freud, bahwa penyimpangan dihasilkan dari rasa bersalah yang berlebihan sebagai akibat dari superego berlebihan.

Orang dengan superego yang berlebihan akan dapat merasa bersalah tanpa alasan dan ingin dihukum. Cara untuk menghadapi rasa bersalah justru dengan melakukan kejahatan, yang dianggap dapat meredakan superegonya.

Solusinya, pemahaman moral tentang benar dan salah sejak kanak-kanak mestinya bisa bekerja sebagai superego yang mengimbangi dan mengontrol Id.

Jika sebaliknya, maka yang terjadi anak dapat tumbuh menjadi individu yang kurang mampu mengontrol dorongan Id, serta mau melakukan apa saja untuk meraih apa yang dibutuhkannya.

Menurut pandangan ini, kejahatan bukanlah hasil dari kepribadian kriminal, tapi dari kelemahan ego yang membuatnya rentan melakukan penyimpangan.

Kejahatan memiliki bentuk yang berbeda-beda. Bahkan perilaku kejahatan yang sama dapat didasari oleh alasan yang berbeda. Seperti kasus pencurian uang untuk sekadar makan mengganjal perut atau untuk foya-foya. Namun perlakuannya sering sama.

Dengan pemahaman tersebut, dapat menjadi solusi dalam perlakuan dan pemberian konsekuensi hukum serta rehabilitasi psikologisnya.

Proses koreksi dan rehabilitasi perilaku kejahatan sebaiknya dilakukan berdasarkan penjelasan perilaku kejahatan yang akurat dan tepat.

Agar kita tak latah, jika melihat kekejaman ekstrem langsung memberi label psikopat dan sosiopat, padahal justru itu maunya si pelaku kejahatan. Kita bahkan mendorongnya lepas dari dakwaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dua Maling Gasar Motor di Tanjung Priok, Polisi Bergerak meski Korban Enggan Lapor

Dua Maling Gasar Motor di Tanjung Priok, Polisi Bergerak meski Korban Enggan Lapor

Megapolitan
Hal-hal yang Belum Terungkap di Kasus Brigadir RAT: Motif hingga Sosok Pengusaha yang Dikawal

Hal-hal yang Belum Terungkap di Kasus Brigadir RAT: Motif hingga Sosok Pengusaha yang Dikawal

Megapolitan
Rute Transjakarta 8N Kebayoran - Petamburan via Asia Afrika

Rute Transjakarta 8N Kebayoran - Petamburan via Asia Afrika

Megapolitan
Ahok Beberkan Solusi Penanganan Macet Jakarta, Berharap Direalisasikan Gubernur DKI

Ahok Beberkan Solusi Penanganan Macet Jakarta, Berharap Direalisasikan Gubernur DKI

Megapolitan
DJ East Blake Terancam 12 Tahun Penjara akibat Sebar Foto dan Video Mesum Mantan Kekasih

DJ East Blake Terancam 12 Tahun Penjara akibat Sebar Foto dan Video Mesum Mantan Kekasih

Megapolitan
Pemprov DKI Jakarta Pertimbangkan Usul DPRD DKI soal Sekolah Gratis Negeri dan Swasta

Pemprov DKI Jakarta Pertimbangkan Usul DPRD DKI soal Sekolah Gratis Negeri dan Swasta

Megapolitan
Komisi E DPRD DKI Desak Pemprov Wujudkan Sekolah Gratis Negeri dan Swasta, dari TK sampai SMA

Komisi E DPRD DKI Desak Pemprov Wujudkan Sekolah Gratis Negeri dan Swasta, dari TK sampai SMA

Megapolitan
Inikah Akhir Perjalanan Rosmini, Ibu Pengemis yang Marah-marah?

Inikah Akhir Perjalanan Rosmini, Ibu Pengemis yang Marah-marah?

Megapolitan
DJ East Blake Serahkan Diri ke Polisi Usai Sebar Video dan Foto Mesum Mantan Kekasih

DJ East Blake Serahkan Diri ke Polisi Usai Sebar Video dan Foto Mesum Mantan Kekasih

Megapolitan
Maju Mundurnya Ridwan Kamil untuk Pilkada DKI Jakarta...

Maju Mundurnya Ridwan Kamil untuk Pilkada DKI Jakarta...

Megapolitan
Misteri Mayat Wanita Dalam Koper Mulai Terkuak: Pelaku Rekan Kerja, Motif Ekonomi Jadi Alasan

Misteri Mayat Wanita Dalam Koper Mulai Terkuak: Pelaku Rekan Kerja, Motif Ekonomi Jadi Alasan

Megapolitan
DJ East Blake Ambil Foto dan Video Mesum Mantan Kekasih Diam-diam karena Sakit Hati Diputuskan

DJ East Blake Ambil Foto dan Video Mesum Mantan Kekasih Diam-diam karena Sakit Hati Diputuskan

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 3 Mei 2024, dan Besok: Tengah Malam Ini Berawan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 3 Mei 2024, dan Besok: Tengah Malam Ini Berawan

Megapolitan
Saat Satpam Gereja di Pondok Aren Digigit Jarinya hingga Putus oleh Juru Parkir Liar…

Saat Satpam Gereja di Pondok Aren Digigit Jarinya hingga Putus oleh Juru Parkir Liar…

Megapolitan
Teka-teki yang Belum Terungkap dari Pembunuhan Wanita Dalam Koper di Cikarang

Teka-teki yang Belum Terungkap dari Pembunuhan Wanita Dalam Koper di Cikarang

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com