Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Yusuf ElBadri
Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengkaji Islam dan Kebudayaan

Menggusur Sekolah

Kompas.com - 18/12/2022, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH Kota Depok memutuskan relokasi SDN Pondok Cina ditunda. Siswa dan guru sudah diizinkan kembali ke sekolah. Proses belajar dimulai kembali seperti biasa.

Namun begitu, ada soal yang belum tuntas, yaitu tentang cara pikir pemerintah kota yang membangun masjid dengan menggusur sekolah.

Orangtua murid menolak memindahkan anak-anak mereka ke sekolah tujuan relokasi dengan berbagai pertimbangan, mulai dari fasilitas tidak memadai hingga waktu belajar tidak efektif. Proses belajar anak-anak sekolah SDN Pondok Cina 1 jadi terganggu.

Pertanyaan yang patut diajukan pada Pemkot Depok adalah seberapa urgen pembangunan masjid hingga merasa perlu menggusur sekolah?

Apakah tidak ada masjid sama sekali hingga rela mengganggu proses anak-anak belajar? Atau masjid yang ada sama sekali tidak memadai untuk menampung ibadah Jum’at di sana?

Setelah membaca berbagai informasi, jawaban atas pertanyaan itu adalah tidak ada urgensi atau alasan mendesak yang sangat penting untuk membangun masjid di lokasi SDN Pondok Cina 1, sebab ada sekitar 10-11 masjid di sepanjang jalan Margonda itu.

Hingga sekarang, publik juga tidak pernah mendengar satupun warga yang mengeluh karena ketiadaan masjid, atau masjid tidak memadai.

Lantas, pertanyaan berikutnya, kenapa wali kota Depok keukeuh ingin membangun masjid di lokasi sekolah hingga mengorbankan proses belajar ratusan anak-anak itu?

Untuk menjawab ini, kita perlu menggali lebih jauh bagaimana pemahaman wali kota tentang masjid, pendidikan dan hak warga negara. Kita perlu merunut sedikit ke belakang, terutama perihal masjid.

Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Di masa sekarang ibadah umat Islam yang berpusat di masjid adalah shalat dan pengajian. Terutama shalat Jum’at, shalat Idul Fitri, dan Idul Adha.

Di perkotaan seperti Depok, kadang tempat shalat juga tersedia di tempat kerja, kantor, mal, sekolah. Shalat Hari Raya, Idul Fitri dan Idul Adha kadang juga dilaksanakan di tanah lapang.

Bagi wali kota Depok ketersediaan masjid yang ada sekarang di Depok dirasa tidak atau belum cukup. Tidak cukup, mungkin, dari segi semaraknya, simbol kebesaran, dan segala macamnya yang terkait kekuasaan Islam.

Sementara penduduk Depok 93 persen adalah Muslim, tetapi tempat ibadahnya tidak menunjukkan kejayaan dan mayoritasnya.

“Umat Islam mayoritas di Depok, masa tempat ibadahnya tidak ada megah, mewah dan besar”. Ini barangkali yang ada dalam pikiran wali kota itu.

Atas alasan itu, masjid yang megah dengan nama masjid Agung Depok perlu dibangun. Sebab masjid adalah tempat shalat dan shalat adalah kewajiban setiap Muslim yang mesti dilakukan.

Nah, sampai di sini, wali kota agaknya lupa atau mungkin keliru dalam beberapa hal.

Pertama, dalam pandangan wali kota Depok kewajiban umat Islam dalam menjalankan shalat, zikir, dan mengaji melampaui kewajiban untuk belajar dan berpengetahuan.

Padahal sekolah fungsinya adalah tempat belajar. Belajar adalah juga perintah agama. Perintah Islam. Hukumnya wajib bagi setiap individu (wajib ‘ain/ fardhu ‘ain).

Wajib belajar, berpengetahuan atau menuntut ilmu dalam Islam sama dengan wajibnya shalat dan mengaji.

Orang yang berangkat dari rumah untuk tujuan ilmu pengetahuan disebut oleh Islam sebagai fi sabilillah atau berada di jalan Tuhan. Dan orang yang mati dalam proses menuntut ilmu diganjar dengan pahala syahid.

Banyak sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan pentingnya ilmu pengetahuan. Sabda antara lain adalah, bahwa orang yang pergi dari rumah untuk menuntut ilmu, belajar atau mengajar, maka malaikat membentangkan sayapnya di atas orang tersebut hingga ia kembali pulang.

Maksudnya adalah orang yang pergi untuk kepentingan pengetahuan, belajar atau mengajar mendapat perlindungan dan rahmat dari Tuhan.

Dalam pernyataan populer yang lain dari Nabi Muhammad, satu orang yang berpengetahuan lebih mulia di sisi Tuhan dari seribu orang saleh yang bodoh.

Duduk sebentar di majelis ilmu bahkan tanpa menulis sekalipun lebih baik dari pada memerdekakan seribu budak. Tidurnya orang yang alim lebih utama daripada ibadahnya orang bodoh.

Dan masih banyak lagi pernyataan dari Nabi SAW betapa pentingnya seseorang berilmu dan berpengetahuan.

Demikianlah agung dan pentingnya pendidikan atau menuntut ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam.

Oleh sebab itu, mengabaikan atau memandang enteng proses pendidikan demi membangun masjid seperti yang dilakukan wali kota Depok, menunjukkan bahwa baginya menjadi umat yang cerdas tidak penting asal taat beribadah. Tidak apa-apa bodoh asal rajin ke masjid.

Sehingga ketika memutuskan relokasi sekolah tanpa menyediakan tempat yang layak dan ruang belajar yang memadai, wali kota merasa tidak bersalah telah merusak dan mengganggu proses akademik dan keilmuan.

Mestinya, karena belajar atau menuntut ilmu dalam Islam dihukumi wajib atau fadhu ‘ain (wajib indvidu) maka yang mesti dilakukan adalah menambah lembaga pendidikan dan meningkatkan kualitasnya, bukan menambah tempat ibadah.

Kecuali di Depok tak ada masjid, atau masjid tidak memadai sehingga menyulitkan umat Islam untuk beribadah.

Kedua, wali kota Depok merasa bahwa ia adalah wali kota umat Islam, bukan wali kota warga Depok. Dengan demikian, ia merasa bahwa kebutuhan umat Islam mesti diutamakan dari kebutuhan warga umum.

Meskipun warga yang menolak relokasi SDN Pondok Cina 1 itu, saya percaya umumnya adalah juga Muslim.

Lahan SDN merupakan aset dinas pendidikan. Artinya aset negara, aset publik. Peruntukannya tentu juga seharusnya adalah untuk publik, bukan golongan tertentu dengan pertimbangan agama, suku, dan ras.

Sekarang lahan itu akan dibangun masjid. Jelas peruntukannya hanya oleh umat Islam. Pertanyaan, apakah ini adil? Jelas tidak adil. Sebab milik semua golongan atau milik bersama dijadikan sebagai milik satu golongan.

Wali kota Depok dipilih adalah untuk semua golongan agama, ras dan suku. Ia mestinya bertindak untuk semua golongan tanpa membeda-bedakan. Mengubah peruntukan milik publik menjadi milik suatu kelompok atau golongan jelas diskriminatif.

Terakhir, keberadaan sekolah sebagai tempat menimba pengetahuan tak kalah penting dari masjid sebagai tempat ibadah. Pentingnya memihak Islam sama pentingnya dengan bertindak adil.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PAN Ajak PDI-P Ikut Usung Dedie Rachim Jadi Calon Wali Kota Bogor

PAN Ajak PDI-P Ikut Usung Dedie Rachim Jadi Calon Wali Kota Bogor

Megapolitan
Kelakar Chandrika Chika Saat Dibawa ke BNN Lido: Mau ke Mal, Ada Cinta di Sana...

Kelakar Chandrika Chika Saat Dibawa ke BNN Lido: Mau ke Mal, Ada Cinta di Sana...

Megapolitan
Pemilik Toko Gas di Depok Tewas dalam Kebakaran, Saksi: Langsung Meledak, Enggak Tertolong Lagi

Pemilik Toko Gas di Depok Tewas dalam Kebakaran, Saksi: Langsung Meledak, Enggak Tertolong Lagi

Megapolitan
Sowan ke Markas PDI-P Kota Bogor, PAN Ajak Berkoalisi di Pilkada 2024

Sowan ke Markas PDI-P Kota Bogor, PAN Ajak Berkoalisi di Pilkada 2024

Megapolitan
Penjelasan Pemprov DKI Soal Anggaran Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI yang Capai Rp 22 Miliar

Penjelasan Pemprov DKI Soal Anggaran Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI yang Capai Rp 22 Miliar

Megapolitan
Kebakaran Tempat Agen Gas dan Air di Depok, Satu Orang Meninggal Dunia

Kebakaran Tempat Agen Gas dan Air di Depok, Satu Orang Meninggal Dunia

Megapolitan
Banyak Warga Berbohong: Mengaku Masih Tinggal di Jakarta, padahal Sudah Pindah

Banyak Warga Berbohong: Mengaku Masih Tinggal di Jakarta, padahal Sudah Pindah

Megapolitan
Pendaftaran PPK Pilkada 2024 Dibuka untuk Umum, Mantan Petugas Saat Pilpres Tak Otomatis Diterima

Pendaftaran PPK Pilkada 2024 Dibuka untuk Umum, Mantan Petugas Saat Pilpres Tak Otomatis Diterima

Megapolitan
Asesmen Diterima, Polisi Kirim Chandrika Chika dkk ke Lido untuk Direhabilitasi

Asesmen Diterima, Polisi Kirim Chandrika Chika dkk ke Lido untuk Direhabilitasi

Megapolitan
Selain ke PDI-P, Pasangan Petahana Benyamin-Pilar Daftar ke Demokrat dan PKB untuk Pilkada Tangsel

Selain ke PDI-P, Pasangan Petahana Benyamin-Pilar Daftar ke Demokrat dan PKB untuk Pilkada Tangsel

Megapolitan
Polisi Pastikan Kondisi Jasad Wanita Dalam Koper di Cikarang Masih Utuh

Polisi Pastikan Kondisi Jasad Wanita Dalam Koper di Cikarang Masih Utuh

Megapolitan
Cara Urus NIK DKI yang Dinonaktifkan, Cukup Bawa Surat Keterangan Domisili dari RT

Cara Urus NIK DKI yang Dinonaktifkan, Cukup Bawa Surat Keterangan Domisili dari RT

Megapolitan
Heru Budi Harap 'Groundbreaking' MRT East-West Bisa Terealisasi Agustus 2024

Heru Budi Harap "Groundbreaking" MRT East-West Bisa Terealisasi Agustus 2024

Megapolitan
Daftar Pencalonan Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohamad Mengaku Dipaksa Maju Pilkada 2024

Daftar Pencalonan Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohamad Mengaku Dipaksa Maju Pilkada 2024

Megapolitan
Misteri Sosok Mayat Perempuan dalam Koper, Bikin Geger Warga Cikarang

Misteri Sosok Mayat Perempuan dalam Koper, Bikin Geger Warga Cikarang

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com