JAKARTA, KOMPAS.com - Ada beragam pengalaman buruk yang Fuad (45) alami sepanjang ia merantau ke Jakarta selama 18 tahun.
Ia merantau ke Ibu Kota sejak 2005 usai melanglang buana ke beberapa daerah sebelumnya dari kampung halamannya di Kebumen, Jawa Tengah.
"Pernah saya dimaki-maki orang karena dianggap enggak menyelesaikan pekerjaan," ucap dia di RPTRA Komarudin, Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur, Selasa (27/6/2023).
Baca juga: Merantau Itu Bagai Anak Baru Masuk Sekolah, Harus Adaptasi untuk Naik Kelas
Fuad melanjutkan, kala itu ia sedang kelelahan. Daripada memaksa diri untuk menyelesaikan pekerjaan dan berujung sakit, ia memilih untuk beristirahat sejenak.
Namun, hal itu membuat dirinya dianggap malas dan berleha-leha. Teguran pun dilayangkan kepadanya.
"Ditegur dan dikata-katain. Waktu itu, kalau ingin dipecat saya siap. Prinsip saya, saya enggak butuh orangnya. Saya butuh uangnya. Makanya saya enggak sakit hati," jelas Fuad.
Fuad pernah bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah rumah sakit di Kemayoran, Jakarta Pusat pada 2005.
Selama bekerja di sana, ia menyewa sepetak kontrakan bersama tiga orang temannya. Harga sewa per bulannya adalah Rp 500.000 per bulan.
Meski sudah dibagi empat, biaya sewanya tetap dirasa mahal karena gaji bulanan Fuad pada saat itu adalah Rp 500.000.
Selain harganya yang mahal, lokasi kontrakan juga kurang strategis karena langganan banjir.
"Saluran airnya dulu banyak sampah. Enggak hujan saja suka becek, setiap hujan ya banjir. Kalau bukan karena kerja di kawasan itu, saya enggak mau tinggal di sana," ungkap Fuad.
Baca juga: Belasan Tahun Merantau di Jakarta, Pria Asal Kebumen Ini Pelajari Banyak Keterampilan Baru
Selain dimaki-maki karena dianggap tidak menyelesaikan pekerjaannya, Fuad juga pernah dibentak.
Bahkan, ia pernah mengalami dibentak menggunakan bahasa yang kurang pantas.
Namun, Fuad kembali menegaskan bahwa dirinya tidak ambil pusing dan tidak sakit hati.
Prinsipnya tetap teguh untuk mencari uang dan menghidupi keluarganya di kampung halaman.