JAKARTA, KOMPAS.com - Ketatnya persaingan dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) sekolah negeri masih terus memunculkan persoalan.
Sejumlah siasat dilakukan oleh orangtua murid agar mendapatkan kesempatan belajar di sekolah negeri, salah satunya terjadi di Bogor.
Kecurangan ini terendus oleh Pemerintah Kota Bogor. Setidaknya 208 anak kedapatan berbuat curang dalam PPDB jalur zonasi jenjang sekolah menengah pertama (SMP) 2023.
Kepala Disdik Kota Bogor Sujatmiko mengungkapkan, mayoritas data kependudukan yang didaftarkan dalam sistem PPDB tidak sesuai dengan data di lapangan.
"Yang dicoret (didiskualifikasi) ada 208 siswa," ungkap Sujatmiko, Jumat (14/7/2023).
Di sisi lain, Ratunnisa (45), warga Kedaung Kaliangke, Cengkareng, Jakarta Barat, memilih berunjuk rasa karena anaknya tersingkir dari sistem PPDB jalur zonasi.
Padahal, jarak antara rumahnya dengan SDN Kedaung Kaliangke 14 hanya 120 meter. Dia meminta penjelasan mengapa anaknya bisa ditolak di sekolah tersebut.
Baca juga: Warga Cengkareng Ini Unjuk Rasa di Depan Sekolah Usai Anaknya Tersingkir dari PPDB SD Jalur Zonasi
Kecurigaan serupa juga terjadi di Bekasi. Budi Ariyanto (45) harus menerima takdir bahwa putrinya gagal diterima menjadi siswa SMA Negeri 2 Kota Bekasi.
Padahal, jarak antara rumah dan SMA Negeri 2 Kota Bekasi itu cukup dekat. Kecurigaan Budi semakin kuat ketika syarat jarak tiba-tiba berubah ketika pendaftaran PPDB jalur zonasi akan ditutup.
"Syarat yang sudah diajukan oleh anak saya 623 meter. Namun berubah ketika sudah diklarifikasi oleh pihak sekolah menjadi 781 meter," jelas Budi, Kamis (13/7/2023).
Permasalahan PPDB akan terus berlanjut apabila pemerintah tidak fokus ke permasalahan mendasar, seperti kesenjangan kualitas dan minimnya jumlah sekolah di perkotaan.
Baca juga: Curhat Orangtua di Cengkareng yang Anaknya Ditolak PPDB, padahal Jarak Sekolah 120 Meter
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Feriansyah menjelaskan, masalah dalam PPDB jalur zonasi terjadi akibat minimnya sekolah negeri yang terjangkau di suatu kecamatan atau kelurahan.
Bukan hanya soal kualitas yang belum merata, pemberlakuan PPDB zonasi juga terus bermasalah karena sistem ini tidak dibarengi dengan pertambahan jumlah sekolah, khususnya di perkotaan.
Hal ini menjadi beban ganda bagi calon peserta didik dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah karena banyak dari mereka bergeser pindah ke daerah pinggiran kota.
Rata-rata sekolah negeri yang berkualitas ada di pusat kota, sedangkan masyarakat berpenghasilan rendah tinggal di pinggiran.
Baca juga: Pemkot Bogor Coret 208 Nama Siswa SMP yang Curangi PPDB Jalur Zonasi