Teori ini kemudian dilanjutkan Robert K. Merton (1957) yang lebih melihat anomie sebagai kegagalan individu mengikuti norma yang ada di struktur budayanya.
Anomie timbul karena rusaknya sistem nilai budaya. Ini terjadi ketika seorang individu, dengan kapasitas yang ditentukan struktur sosial, kehilangan kemampuan menyelaraskan tindakannya dengan norma-norma dan tujuan budaya.
Dengan kata lain, anomie terjadi bila struktur budaya tidak lagi berjalan selaras dengan dan didukung oleh struktur sosial yang berlaku.
Dalam berlalu lintas kita memiliki UU 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan sebagai norma. Namun norma tersebut secara kasat mata bisa dibilang tidak berlaku. Penyimpangan-penyimpangan lalu lintas di atas sebagai contohnya.
Masyarakat, termasuk di Jabodetabek terutama di area pinggiran, berkendara seakan tanpa norma. Ketakutan melanggar norma menjadi nomor sekian ketimbang ketakutan akan adanya penegak hukum (polantas).
Bahkan seringkali keberadaan polantas tidak meruntuhkan nyali mereka untuk melanggar norma berlalu lintas. Entah karena kalah jumlah, atau karena sebab lain, tidak jarang polantas membiarkan pelanggaran tersebut.
Dalam beberapa reality show kepolisian atau rekaman media sosial, tidak jarang antara petugas dengan pelanggar lebih galak pelanggar.
Kita masih ingat bagaimana Dora Singarimbun, PNS Mahkamah Agung, berani mencabik-cabik baju polantas yang menindak pelanggarnya di Jatinegara, dan beragam contoh lain.
Situasi-situasi tersebut, dari pelanggaran individu atas norma lalu lintas, reaksi maklum dari masyarakat atas pelanggaran, hingga sikap petugas penegak hukum terhadap pelanggar merupakan kombinasi yang sempurna untuk menyebabkan terjadinya situasi anomie dalam berlalu lintas.
Situasi ini tentunya tidak bisa terus dibiarkan, karena pelanggaran lalu lintas tidak hanya sekadar pelanggaran norma hukum, namun potensial menyebabkan kecelakaan. Tidak jarang kecelakaan menjadi fatal dan menyebabkan korban jiwa.
Ini tentunya harus menjadi perhatian semua pihak yang berkepentingan dalam lalu lintas, termasuk kita sendiri karena di masyarakat perkotaan tentunya lalu lintas merupakan kegiatan kita sehari-hari.
Namun perhatian masyarakat, seperti upaya seorang konten kreator membuat konten terkait pemotor yang melawan arah, tidak jarang mendapatkan perlawanan.
Maka perhatian regulator, dalam hal ini pemerintah, baik Dishub maupun kepolisian menjadi penting.
Penempatan petugas kepolisian di lokasi-lokasi rawan pelanggaran lalu lintas, meski kadang tidak terlalu berarti banyak, perlu dilakukan sebagai efek penggentar kepada pelaku.
Penempatan mobil ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) juga bisa menjadi solusi jika penindakan secara konvensional sulit dilakukan karena ada perlawanan dan keterbatasan SDM yang berbanding terbalik dengan banyaknya pelanggar.
Hukuman denda maksimal ETLE tentunya diharapkan memberikan efek jera kepada pelanggar.
Dengan adanya tindakan tegas terhadap para pelanggar secara berkelanjutan, tidak hanya hangat-hangat tahi ayam, tentunya bisa mengubah perilaku berkendara dari yang biasa melakukan pelanggaran menjadi tertib lalu lintas.
Kenapa harus berkelanjutan? Agar membiasakan para pengendara untuk tertib sehingga ada tidak ada penegak(an) hukum, mereka sudah terbiasa menaati aturan.
Adanya perilaku berkendara yang tertib tentunya meminimalkan potensi kecelakaan, selain tentunya memberi dampak terhadap kelancaran arus lalu lintas. Lebih dari itu, nantinya akan tercipta lalu lintas yang teratur, tidak lagi lalu lintas dalam ketidakteraturan yang teratur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.