"Jarak dari rumah ke kantor itu sekitar 25 kilometer. Kalau mengendarai motor sendiri pasti capek. Jadi, saya memutuskan untuk naik bus Transjakarta. Lebih hemat dan tidak perlu macet-macetan," ungkap Dita.
Dari rumah, Dita naik ojek online (ojol) ke halte Transjakarta terdekat. Meskipun harus transit dua kali, ia enggan beralih ke kendaraan umum lain.
Baca juga: Pakai Bus Listrik, Transjakarta Berhasil Kurangi 9,9 Persen Emisi
"Sejauh ini, saya nyaman menggunakan bus Transjakarta, karena sudah hafal kondisi jalan dan jadwal bus. Semoga, sistem transit lebih mudah dan armadanya lebih banyak. Kalau bisa ditambahkan juga angkutan penghubung seperti Mikrotrans di daerah perumahan," ucapnya.
Penggunaan transportasi umum oleh masyarakat, termasuk bus Transjakarta, membuka peluang bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Dengan menghadirkan sarana transportasi umum yang baik, polusi udara dari sumber bergerak dapat ditekan. Demikian pula kemacetan yang merupakan salah satu masalah klasik kota Jakarta.
Climate and Energy Campaigner Greenpeace Bondan Andriyanu juga berpendapat, optimalisasi transportasi umum, seperti bus Transjakarta, memang menjadi salah satu solusi mengatasi polusi udara. Hanya saja, ia menganggap perlu pematangan program berdasarkan data riil dari lapangan, agar sesuai dengan jenis dan penyebab polusi yang dialami Jakarta saat ini.
"Jika data yang dipakai menunjukkan bahwa penggunaan transportasi dapat mengurangi polusi, cara ini bisa saja berhasil. Namun, harus ditentukan juga berapa persen kendaraan pribadi yang harus dikurangi, untuk dapat membuat masyarakat beralih menggunakan transportasi umum. Penggunaan metode push and pull perlu dipertimbangkan," urainya.
Bondan pun berharap, Pemprov DKI Jakarta melakukan monitoring dan evaluasi berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Selain itu, sebagai penyedia transportasi massal, Transjakarta juga harus meningkatkan mutu layanannya untuk menarik pelanggan lebih banyak.
"Misalnya, dengan memberlakukan sistem pembayaran yang mudah dan murah serta rute yang terintegrasi dengan lebih baik. Jangan sampai ketika masyarakat ingin beralih, pihak penyedia layanan tidak siap," paparnya.
Bondan pun berharap, upaya mendorong penggunaan transportasi umum dapat benar-benar menurunkan kadar polusi udara yang mulai mengancam kesehatan masyarakat. Sebab, pemerintah sudah harus menjadikan polusi udara sebagai masalah prioritas, sehingga harus dicarikan solusi yang berdampak.
Baca juga: Bus Listrik Efektif Kurangi Polusi, Transjakarta: Pengurangan Emisi 9,9 Persen
"Jika solusi dari sisi transportasi berhasil, pemerintah harus menemukan cara agar dapat diaplikasikan dalam jangka panjang. Selain itu, karena polusi udara tidak 'ber-KTP', perlu ada riset untuk mencari sumber dan persebarannya, agar bisa dikurangi atau dihentikan," bebernya.
Di sisi lain, Bondan mengharapkan pemerintah dapat bekerja sama dan berkoordinasi lintas sektoral untuk mencari solusi berkelanjutan, baik untuk jangka pendek maupun panjang. Ia pun berharap, solusi yang dicetuskan dapat menjadi solusi nyata dan tidak hanya dari sisi transportasi saja.
Menurutnya, pemerintah dapat membuka kerja sama dengan pihak yang memiliki concern sama terhadap polusi udara, seperti ahli, komunitas, hingga masyarakat lintas sektoral. Hal ini akan membantu dalam menentukan regulasi dan penanggulangan masalah polusi udara yang lebih komprehensif serta tepat sasaran.
"Sebenarnya, masalah polusi sudah terdengar sejak 2019. Jadi, jika pemerintah berhasil menemukan solusi yang tepat, kita tidak bingung jika hal serupa terjadi lagi. Keterlibatan seluruh aspek masyarakat sangat penting untuk dapat mengatasi masalah ini," pungkas Bondan. (Rindu Pradipta Hestya)
Baca juga: PT Transjakarta Akan Tambah 48 Unit Bus Listrik Tahun Ini
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.