JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah 36 tahun terakhir Hasan Basri (55) bertahan di Ibu Kota. Perjalanan hidup yang sebenarnya dia mulai setelah merantau dari Bukittinggi ke Jakarta pada 1989.
Saat itu, usianya masih 19 tahun. Benar-benar nekat. Sebab, Hasan hanya bermodalkan ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan uang Rp 10.000.
Ia bertolak dari Bukittinggi dengan duduk di kursi penumpang sebuah bus. Hasan tidak tahu transportasi yang dia setop di tengah jalan ini akan berhenti di wilayah mana.
Baca juga: Cerita Sopir Angkot di Jakarta, Merantau dari Bukittinggi di Usia 19 Tahun Bermodal Rp 10.000
Namun, satu hal yang pasti, pemberhentian terakhir bus tersebut adalah Jakarta. Setelah terbangun dari lelap tidurnya, Hasan akhirnya tiba di Terminal Kalideres, Jakarta Barat.
Entah apa yang harus ia lakukan pertama kali saat menginjakkan kaki di Kota Metropolitan. Tapi, ketika merogoh saku celana, uangnya tersisa Rp 10.000.
Dia sadar, doku itu hanya bertahan beberapa hari ke depan untuk sekadar makan dan minum. Oleh karena itu, ia putar otak agar bisa bertahan.
Dalam satu momen, Hasan terpaksa menjadi calo setelah melihat orang di suatu terminal yang mendulang calon penumpang untuk naik ke angkot atau metromini atau bus.
Pekerjaan sementara ini mengantarkan Hasan bisa pergi ke wilayah lain, yakni Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Blok M, Ciledug, dan lain-lain, selama satu bulan.
Meski berhasil menahan rasa lapar dan haus dari uang calo, Hasan tetap menanggung risiko sebagai perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal. Alhasil, trotoar, halte, hingga kolong jembatan menjadi tempat dia bermalam.
“Pokoknya terdampar, dari celana saya putih menjadi hitam. Ya karena tidur di mana-mana,” ungkap Hasan sambil tertawan, ditemui Kompas.com di Terminal Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (20/3/2024).
Baca juga: “Kalau Dulu, Lebih Bagus Sopir Angkot daripada PNS”
Namun, menjadi calo penumpang pada saat itu tidak semulus bayangan pembaca Kompas.com. Terkadang, Hasan terpaksa berkelahi dengan orang lain yang disebut “pemegang wilayah”.
Hasan dianggap kurang ajar karena seenaknya menjadi calo penumpang tanpa “permisi” dengan sang “pemegang wilayah”.
“Daripada enggak makan, tahan rasa lapar, mending saya ribut. Saya kan bukan mencuri, cuma mau bantuin orang,” ujar Hasan.
Sambil menatap Terminal Pasar Minggu, Hasan mengatakan bahwa merantau ke Ibu Kota merupakan suatu hal yang tidak pernah dia sesalkan.
“(Kalau dulu, perantau enggak punya teman di Ibu Kota), susah. Hidup di Jakarta ini susah dulu. Digebukin kita masuk ke Terminal kalau enggak ada yang kita kenal,” kata Hasan.
“Iya (di Pasar Minggu). Kalau enggak ada yang kita kenal nih ya, kita masuk asal masuk saja, enggak bisa. Ibaratnya, hukum rimba berlaku. Siapa yang kuat, dia yang di atas,” lanjutnya.
Baca juga: Sopir Angkot: Dulu kalau Cuma Jadi Kernet, Hidup Sudah Enak
Setelah satu bulan berada di Terminal Pasar Minggu, Hasan akhirnya bertemu dengan temannya yang juga berasal dari Bukittinggi.
Dari pertemuan tersebut, Hasan baru mengetahui bahwa temannya ini merupakan sopir angkot. Perbincangan dengan sesama perantau pun terjadi.
“Baru saya ikut. Tapi, saya jadi kenek dulu sewaktu angkot masih jaya-jayanya,” tutur Hasan.
Kata Hasan, di periode '90-an, pekerjaan sopir angkot menjadi primadona para perantau karena dianggap menjanjikan dibandingkan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Pendapatan Rp 20.000 satu hari sudah bagus, Rp 50.000 lebih bagus lagi. Waktu zaman itu, uang Rp 50.000 buat makan satu minggu, itu belum juga habis,” ujar Hasan.
“Kalau dulu, paling bagus itu wiraswasta daripada PNS, sama lebih bagus sopir angkot. Dulu, kalau enggak salah, gaji PNS itu Rp 60.000 per bulan, kalau enggak salah. Jadi, masih kalah sama kita,” lanjut dia.
Baca juga: Kisah Sopir Angkot, Kini Sengsara tetapi Pernah jadi Profesi Primadona
Namun, zaman telah berubah. Persaingan antartransportasi umum semakin ketat. Tak jarang, Hasan hanya bisa mengeluh karena biaya hidup yang selalu besar daripada pendapatannya.
"Sejak zaman Jokowi, pendapatan angkot benar-benar menurun. Kita punya keluarga, istri bantuin (kerja) juga. Kalau enggak, kita malah diusir pemilik kontrakan," ungkap Hasan.
"Sehari dapat Rp Rp 40.000, Rp 50.000, Rp 70.000. Nah, biaya makan gadang (besar) sekarang, gede biaya kehidupan. Jadi enggak imbang. Kalau keluarga enggak dibantu sama istri, bakalan sengsara," lanjut dia.
Hasan memastikan, semua para sopir angkot di Jakarta juga merasakan hal serupa. Ia menantang untuk bertanya hal serupa kepada sopir angkot yang lain.
"Susah, cari setoran saja terkadang mengutang. Besok baru dapat duit, tombok lagi. Enggak dapat duit (pendapatan), pakai duit setoran (buat biaya sehari-hari). Besoknya kita cicil Rp 10.000 per hari, terus gitu," ungkap dia.
Hasan mengungkapkan, istrinya bekerja sebagai pengamen berkostum badut. Sehari-hari, istri bekerja bersama anak bungsunya yang masih berusia tiga tahun.
"Dia (istri) sudah melamar jadi tukang cuci, dan lain-lain. Tapi sudah penuh semua. Dia dulu Go Clean, karena melahirkan, enggak bisa lagi waktu itu. Sekarang melamar jadi pembantu rumah tangga, enggak diterima," kata Hasan.
Baca juga: Keluh Sopir Angkot di Jakarta: Cari Setoran Saja Terkadang Harus Utang
Kini, Hasan dan keluarga bermukim di salah satu kontrakan di wilayah Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
"Kontrakan satu petak. Kamar mandi di luar. Biaya sewa per bulan itu Rp 800.000. Saya punya anak dua, anak pertama saya SMP swasta, itu banyak pengeluarannya," ungkap Hasan.
Meski dalam kondisi terimpit, dia tetap bersyukur kepada Sang Pencipta karena tidak menyangka bisa bertahan dengan kerasnya Ibu Kota sampai saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.