JAKARTA, KOMPAS.com – Nama Masjid Keramat Luar Batang Jakarta Utara (Jakut) memiliki cerita dan sejarahnya tersendiri. Awalnya, kawasan Luar Batang memiliki nama Kampung Baru dan masjidnya bernama An Nur.
“Di saat Habib Husein masih hidup nama kampung ini adalah Kampung Baru, bukan Luar Batang, nama masjidnya, An Nur,” ucap Sekertaris Masjid Luar Batang, Mansur Amin atau akrab disapa Daeng Mansur saat diwawancarai oleh Kompas.com di lokasi pada Selasa (19/3/2024).
Menurut Daeng Mansur, terdapat beberapa versi cerita yang menjelaskan perubahan nama kawasan Kampung Baru menjadi Luar Batang.
Baca juga: Sejarah Masjid An-Nawier, Berdiri Zaman Hindia Belanda di Kampung Mayoritas Muslim
Pada versi pertama banyak yang mengatakan, perubahan nama disebabkan karena pada zaman itu di Pelabuhan Sunda Kelapa terdapat sebatang kayu yang memisahkan kapal yang sudah melakukan registrasi atau check in untuk melakukan bongkar muat dan yang belum melakukan registrasi.
Namun menurut Daeng Mansur, cerita versi pertama tersebut kurang masuk akal.
“Buat saya itu sangat tidak masuk akal, batang kayu tadi bisa mengubah nama kampung dan masjid ini,” sambungnya.
Sementara cerita versi kedua menjelaskan, perubahan nama Kampung Baru menjadi Luar Batang karena kawasan ini berawal dari endapan Sungai Ciliwung yang pada akhirnya, menjadi dataran dan menurut bahasa Sunda kejadian tersebut disebut ‘Bebatangan’.
Akan tetapi, lagi-lagi Daeng Mansur tidak meyakini perubahan nama Kampung Baru menjadi Luar Batang berasal dari kata ‘Bebatangan’.
Baca juga: Mengunjungi Masjid Berusia 294 Tahun di Tambora yang Bergaya Eropa Kuno
Sementara untuk cerita versi ketiga, perubahan nama Kampung Baru menjadi Luar Batang terjadi ketika Habib Husein wafat.
Awalnya, sang Habib hendak dimakamkan di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Namun, pada masa itu terdapat dua masalah.
Pertama, saat itu di Kawasan Tanah Abang belum memiliki tempat pemakaman umum.
Kedua, jarak dari Luar Batang ke Tanah Abang cukup jauh apabila harus ditempuh dengan berjalan kaki.
“Namun, pada zaman itu ada dua masalah. Satu, pada zaman itu di sana belum ada pemakaman. Kedua, jaraknya sangat jauh, bayangin aja kalau saat ini ke Tanah Kusir jalan kaki itu jaraknya lumayan, apalagi zaman dulu pasti harus lewatin hutan, sungai, empang,” terangnya.
Baca juga: Ngabuburit ke Masjid Kubah Emas, Tempat Ibadah yang Adopsi Gaya Arsitektur Timur Tengah
Setelah dilakukan pertimbangan, jenazah Habib Husein pun tak jadi dimakamkan di daerah Tanah Abang.
Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda meresmikan kawasan Kubur Koja di daerah Bandengan, Jakarta Utara menjadi kuburan masal untuk orang-orang Islam dan orang-orang Koja.
“Jarak dari sini ke Kubur Koja itu kurang lebih 1,5 Km – 2 Km, dan itu harus melewati sungai pada zaman itu. Secara akal masih bisa dikuburkan di sana dan jaraknya dekat, dan jenazahnya dibawa menggunakan perahu,” terangnya.
Namun, kejadian tak terduga justru terjadi. Setibanya di pemakaman, jenazah Habib Husein justru tidak ada di kerandanya.
Para pengubur yang mengantarkan jenazah Habib Husein pun kebingungan dan mengecek kembali ke rumah.
Ternyata jenazah Habib Husein ditemukan tergeletak di ruang tamu rumahnya.
“Ternyata jenazah Habib Husein ada di ruang tamu rumahnya samping masjid. Dimasukin lagi, dibawa lagi, sampai di kuburan enggak ada lagi, ada yang bilang prosesnya itu berkali-kali,” imbuhnya.
Sampai akhirnya, masyarakat memutuskan untuk menguburkan Habib Husein di Masjid An-Nur yang kini namanya berubah menjadi Masjid Keramat Luar Batang.
“Sampai akhirnya, diputuskan Habib Husein maunya dimakamkan di sini (Luar Batang), peristiwa tadi yang menimbulkan geger dan timbul bahasa ‘Luar Batang’ yang artinya keluar dari kurung batang,” tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.