JAKARTA, KOMPAS.com - Kebanyakan orang memilih untuk menghabiskan hari tuanya untuk hidup dan berkumpul bersama keluarga tercinta. Tapi tidak dengan Bakar (77), salah seorang pengemudi sampan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara (Jakut).
Perantau asal Sulawesi Selatan ini memilih untuk menjalani hari-hari tua di atas sampan kesayangannya yang biasa berlalu lalang di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Pria paruh baya ini mengaku datang ke Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara (Jakut) sejak tahun 1962.
Awalnya, Bakar bekerja di pelayaran salah satu kapal besar yang sering singgah di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Lama kelamaan, Bakar tertarik untuk berpindah profesi sebagai pengemudi sampan di pelabuhan ini.
"Dulu saya berlayar ikut kapal, terus turun di Pelabuhan Sunda Kelapa, dan akhirnya mutusin buat narik sampan hingga saat ini," ucapnya ketika berbincang dengan Kompas.com di lokasi pada Rabu (17/4/2024).
Sampan pertama yang dimiliki Bakar seharga Rp 3 juta. Kini bapak dari tujuh anak itu sudah berganti sampan sebanyak empat kali.
Saat ini, sampan yang dimiliki Bakar sudah digunakan selama enam tahun dan dibeli seharga Rp 6,5 juta.
Baca juga: Bandara Soekarno-Hatta Jadi Bandara Tersibuk se-Asia Tenggara Selama Periode Mudik Lebaran
Bakar memiliki dua sampan saat ini. Satu sampan yang tak beratap digunakan untuk ia mengais rezeki, satu lagi sampan beratapkan terpal biru untuk ia beristirahat.
Sudah bertahun-tahun lamanya, Bakar melakukan banyak kegiatan sehari-hari di atas sampan. Mulai dari tidur, mandi, mencuci pakaian, hingga menjemur pakaian, ia lakukan di atas perahu kesayangannya itu.
Ia mengaku, tak pernah merasa takut untuk tidur dan melakukan aktivitas lain di atas sampan karena sudah terbiasa.
"Tidur di atas sampan tidak takut karena sudah biasa, nyuci di sampan, jemur juga di sampan," sambungnya.
Namun, ia sering kali merasa khawatir apabila hujan besar di malam hari. Air hujan seringkali menembus atap sampan yang hanya dibalut dengan terpal biru.
Meski begitu, Bakar tetap merasa nyaman dan lelap selama tidur di sampan miliknya.
Selain tidur, mandi di atas sampan juga sudah menjadi hal yang lumrah bagi Bakar selama ini.
"Mandi kadang beli air buat mandi di sampan, cuma kalau air habis yaudah ke MCK di Masjid Luar Batang," ucapnya tertawa.
Bakar mengatakan, belakangan ini menarik sampan tidak bisa lagi menjamin kehidupannya.
Pasalnya, semenjak Covid-19 peminat sampan di Pelabuhan Sunda Kelapa pun mengalami penurunan yang signifikan.
Hal itu membuat pendapatan Bakar dan pengemudi sampan lainnya menjadi tidak menentu.
"Tidak menentu, kadang sehari bisa narik sekali itu dapat Rp 100.000 dipakai buat makan habis. Tapi, besoknya bisa enggak dapat berhari-hari. Ini udah empat hari enggak dapat-dapat penumpang," jelasnya.
Bakar menjelaskan, saat ini hanya lah turis asing yang masih mau mencoba naik sampannya.
Sementara wisatawan lokal sudah sangat jarang datang ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
Sepinya wisatawan, membuat Bakar diminta pulang ke kampung halaman oleh para buah hatinya.
Namun, Bakar berat untuk meninggalkan sampan kesayangannya begitu saja.
"Maksud anak sih sudah dilarang, kata anak sudah di rumah aja makan seadanya. Tapi, sayang sampannya, kalau enggak ada yang beli sayang juga. Saya juga masih sehat, masih bisa menyampan biarin lah saya tetap mencari sesuap nasi," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.