JAKARTA, KOMPAS.com - Para perantau dari Gunung Kidul, Yogyakarta, membangun desanya dari hasil kerja keras selama bekerja di Jakarta.
Perantau yang bergabung dalam Paguyuban Palem Manunggal itu pernah mengumpulkan dana untuk membangun masjid di kampung halamannya.
Sugito (68) perantau Jakarta dari Gunung Kidul menceritakan usaha Paguyuban untuk membantu pendanaan desa dalam membangun masjid.
"Di kampung mengadakan (membangun) masjid. Kita bawa proposal dari kampung, kita cari dana di sini," ujar Sugito saat ditemui di Taman Gajah Dharmawangsa, Selasa (18/6/2024).
Baca juga: Demi Berkurban Sapi, Sugito Pedagang Siomay Menabung Dua Bulan Sebelum Idul Adha
Sugito dan kawan-kawan sengaja menginisiasi pembangunan itu karena masjid di desanya sangat jauh dari rumah warga.
"Kita kalau mau Jumatan, orang tani kalau mau Jumatan, kalau dari sawah enggak keburu. Jadi punya inisiatif kita bikin masjid," ujar Sugito.
Sugito dan kawan-kawan paguyubannya pun meminta bantuan dana dari sesama perantau dari daerah yang sama.
Usaha Sugito dan kawan-kawannya dalam mengumpulkan warga desanya membuahkan hasil. Sebanyak 99 anggota Paguyuban Pelem Manunggal bersedia menyumbang.
Pada tahun 1990, masjid telah rampung dibangun. Meskipun penyelesaian pembangunan masjid masih terus berlanjut hingga beberapa tahun.
Baca juga: Pedagang Siomay di Kebayoran Berkurban Tiap Tahun, Patungan Rp 3,5 Juta untuk Beli Sapi
"Setelah itu dibangun dan dibangun. Sampai sekarang, istilahnya, kalau ada renovasi, kita bantu," ujar laki-laki tersebut.
Sugito juga menjelaskan bahwa pada beberapa tahun pertama, masih sedikit warga desa yang hadir untuk beribadah ke masjid. Padahal untuk Sholat Jumat dapat dikatakan sah, harus ada 40 orang yang sholat di masjid tersebut.
"Dan dulu, biar sah masjid itu kan, untuk orang Jumatan, minimal 40 orang. Kadang-kadang wanita pun ikut Jumatan supaya memenuhi standar. Supaya hidup," ujar Sugito sembari tertawa mengenang masa lalunya.
Kini, Paguyuban Pelem Manunggal tidak lagi beranggotakan 99 orang. Sugito mengaku bahwa banyak anggota lama yang telah meninggal dunia dan anak-anak muda dari desa mereka turut membuat paguyuban serupa di Jakarta.
Baca juga: Pedagang Siomay di Kebayoran Baru Rutin Berkurban Tiap Tahun, Menabung untuk Patungan Sapi
"Kalau dulu banyak ya. Karena sudah ada yang meninggal dan remajanya juga sebagainnya juga punya paguyuban sendiri, jadi tinggal yang sepuh-sepuh saja. Sekarang tinggal sekitar 40-an orang," tutupnya.
Ia kemudian mengenang betapa bermanfaatnya Paguyuban Pelem Manunggal dahulu. Ia mengaku, bahwa dahulu paguyuban dapat membangun keperluan desa, gapura, hingga memberikan ternak kepada kaum duafa.
"Alhamdulillah, zaman dulu bisa bangun kampung, bikin gapura, tiap pintu (gang) itu bikin gapura biar seragam semua. Terus bantu kaum duafa, istilahnya dikasih ternak berupa ayam atau kambing supaya berkembang," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.