Imbasnya, menurut catatan Kementerian Perhubungan tahun 2023, jumlah kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp 65 triliun.
Biaya yang mahal itu baru memperhitungkan konsumsi bahan bakar dan suku cadang, dan belum menyertakan kerugian pada aspek lain seperti kesehatan, lingkungan dan opportunity cost dari waktu yang terbuang percuma di tengah kemacetan.
Kemacetan kedua adalah kemacetan perizinan yang menyebabkan high cost of doing business atau mahalnya biaya berusaha.
Kerumitan perizinan sudah menjadi rahasia umum yang dirasakan oleh hampir seluruh sektor, dimulai dari perizinan mendirikan gedung yang sempat menjadi sorotan Bank Dunia, hingga perizinan konser musik internasional yang belakangan ini diakui sendiri kerumitannya oleh Presiden Jokowi.
Kerumitan perizinan pada gilirannya akan menurunkan daya tarik kota ke pasar internasional yang semestinya menguat seiring dengan perkembangan investasi dan dunia usaha.
Meski memesona bagi wisatawan domestik, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Jakarta di tahun 2023 sangat kecil, hanya 8 persen dari jumlah wisatawan yang mengunjungi Bangkok di periode yang sama.
Kemacetan ketiga adalah kemacetan kelembagaan; dalam hal ini, koordinasi antara pemerintah provinsi Jakarta, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sekitar yang tersendat-sendat dalam menyelesaikan masalah lintas batas seperti banjir dan polusi udara.
Solusi dalam kota saja tidak cukup karena mengatasi banjir memerlukan pencegahan di hulu aliran sungai yang berada di Bogor, Jawa Barat.
Sementara pengurangan polutan di udara memerlukan jutaan komuter yang bermukim di Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan daerah lainnya yang masih bergantung pada kendaraan pribadi untuk dapat beralih ke transportasi publik.
Selain itu juga diperlukan pengetatan emisi buangan dan bahkan pensiun dini sejumlah pembangkit listrik yang berada dalam kewenangan Pemerintah Pusat.
Selain menetapkan visi kota global, UU DKJ meletakkan Jakarta sebagai bagian dari wilayah aglomerasi.
Kerangka ini secara konseptual mewadahi kerja sama yang lebih optimal antara pemerintah daerah dalam daerah aglomerasi (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, dan Cianjur) dan lembaga pemerintah pusat untuk mengintegrasikan agenda pembangunan.
Jika dalam praktiknya kerja sama berjalan efektif, maka berbagai persoalan bisa diselesaikan lebih cepat.
Pekerjaan rumah para kepala daerah dan pimpinan lembaga yang terkait adalah membangun nuansa kooperatif, serta menghindari toxic relationship.
Sebagai ilustrasi, nuansa kooperatif diwarnai oleh diskursus yang dilahirkan oleh perdebatan nalar mencari solusi. Sebaliknya, toxic relationship berawal dari debat kusir yang dilahirkan oleh prejudis dan fanatisme antarkelompok.