Hal ini yang kemudian membuat marah anggota DPRD DKI. Mereka menilai Ahok (sapaan Basuki) telah melanggar peraturan.
Sebagai informasi, pada Januari lalu Ahok (sapaan Basuki) pernah menyebutkan bahwa total anggaran pengajuan program yang diusulkan DPRD lewat pokir mencapai Rp 8,8 triliun. Ia menganggap besaran jumlah itu tidak masuk akal.
"Judul anggarannya saja 'visi misi', sampai Rp 8,8 triliun. Di dalamnya total anggaran sosialisasi SK gubernur saja sampai Rp 46 miliar setahun. Gila enggak? Apa yang mau disosialisasi SK gubernur? Makanya saya marah. Mereka (DPRD) enggak ada yang mau ngaku. Jadi, kalau mau berantem, ya berantem saja," kata Ahok.
Sebenarnya, apa itu pokir?
Pokir merupakan kepanjangan dari pokok-pokok pikiran. Istilah ini digunakan untuk menyebut kewajiban anggota legislatif menjaring aspirasi dari masyarakat. Aspirasi itu kemudian akan ditindaklajuti para wakil rakyat ke eksekutif saat perancangan APBD.
Sesuai yang tercantum pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan DPRD tentang tata tertib, disebutkan, Badan Anggaran mempunyai tugas memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD.
"Dewan kan ada masa reses. Saat itulah ada usulan-usulan itu masuk melalui dewan. Ini diatur dalam Undang-undang. Jumlahnya berapa, itu nanti ada dalam pembahasan," kata Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi, dalam sebuah diskusi, Sabtu (7/3/2015).
Menurut Sanusi, DPRD tidak pernah menentukan besaran rincian anggaran suatu program. Sebab, kata dia, DPRD hanya berperan sebagai pengusul.
Sanusi mengatakan, pihak yang berwenang menentukan besaran jumlah anggaran adalah eksekutif, dalam hal ini SKPD terkait yang mengurus bidang yang sesuai dengan program usulan yang diajukan oleh masyarakat. Contohnya, Dinas Bina Marga untuk usulan program perbaikan jalan.
"Pokok-pokok pikiran tidak pakai jumlah, itu hanya istilah. Jumlahnya berapa, itulah isi dari pembahasan (bersama eksekutif)," ujar politisi Partai Gerindra itu.
Ia pun membantah tuduhan Ahok yang menyebut DPRD mengajukan program lewat pokir yang jumlahnya mencapai Rp 8,8 triliun. Sanusi kemudian menghubungkannya dengan dugaan anggaran siluman usulan DPRD yang saat ini diungkap Ahok ke publik.
"Kemarin bilangnya Rp 4 (triliun), terus Rp 8,8. Terakhir yang sekarang Rp 12,1 triliun. Yang benar yang mana?" ucapnya menampik tuduhan Ahok.
Alasan Ahok coret pokir
Ahok pernah menyatakan, pokir sering disalahgunakan anggota legislatif untuk bermain anggaran. Hal itulah yang melatarbelakangi pencoretan pokir pada draf RAPBD 2015.
"Saya tahu persis ada pokir-pokir yang bikin pusing satuan kerja perangkat daerah (SKPD)," kata Ahok pada suatu ketika.
Ahok menyebut bahwa ia memiliki dasar hukum dalam pencoretan pokir. Dasar hukum itu adalah keputusan dari Mahkamah Konstitusi. "Kan sudah ada putusan MK, bahwa DPRD sudah tidak membahas lembar ketiga. Satuan ketiga enggak dibahas mereka lagi," kata mantan Bupati Belitung Timur itu.
Menanggapi hal tersebut, Sanusi menilai landasan hukum yang digunakan oleh Ahok adalah Revisi Undang-undang 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPRD (MD3).
"Rupanya itu yang dipakai oleh Pemda. Tapi Kemendagri sudah menyatakan itu hanya berlaku untuk DPR RI, bukan DPRD. Dan itu untuk pemerintah daerah tidak berlaku. Jadi rupanya yang dia (Ahok) bilang tidak melanggar Undang-undang itu ngacu pada peraturan ini," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.