Namun di balik benang kusut masalah APBD, ada masalah lain yang mengintai Jakarta setiap harinya. Masalah-masalah tersebut merupakan hal klasik, tetapi sedikit demi sedikit semakin mengusik kehidupan orang-orang yang ada di Jakarta.
Macet, banjir, dan kenaikan harga. Tiga poin itu adalah keluhan masyarakat paling mengemuka ketika ditanya tentang permasalahan yang paling dirasakan di Jakarta. Poin-poin itu didapat dari hasil penelitian oleh lembaga survei Populi Center bertajuk "Kinerja Pemerintah dan Tokoh Politik di Mata Masyarakat Jakarta".
Survei ini digelar pada 11-15 Maret 2015 di seluruh wilayah DKI Jakarta. Survei yang bersifat lokal ini menggunakan metode penarikan sampel yang sesuai kaidah probability sampling. Selain itu, dilakukan wawancara tatap muka dengan total 1.000 responden yang dipilih acak dengan margin of error /- 3,09 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Dari total responden, 29,9 persen menyatakan macet sebagai masalah utama Jakarta. Disusul dengan banjir sejumlah 23,8 persen, lalu kenaikan harga 10,8 persen, dan masalah lainnya.
Data ini sejalan dengan kondisi real di lapangan. Kemacetan semakin menjadi terutama di tempat-tempat yang memiliki kekeliruan pembangunan infrastruktur dan tempat yang sedang mengalami pembangunan. Contoh tempat yang sedang ada pembangunan adalah Ciledug (Tangerang) dan Cipulir (Jakarta Selatan).
Arus keluar masuknya kendaraan berat ke area pembangunan turut jadi penyebab tersumbatnya lalu lintas di jalan penghubung Tangerang-Jakarta dan sebaliknya itu.
Selanjutnya, banjir sempat dirasakan masyarakat Jakarta beberapa hari terakhir. Hujan yang mulai mengguyur dari sore ke malam pun sudah bisa membuat genangan di banyak tempat.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI mencatat setidaknya ada 12 titik genangan usai hujan lebat, Minggu (22/3/2015). Kedalamannya pun bervariasi, mulai 10 hingga 50 sentimeter.
Seringnya genangan muncul ikut membuat fisik jalan cepat rusak dan membuat lubang semakin banyak di jalan-jalan Ibu Kota. Masalah yang kompleks itu tidak berdiri sendiri. Ditambah lagi dengan permasalahan APBD 2015, program-program unggulan DKI untuk mengentaskan macet dan banjir terganggu dan dikhawatirkan tidak berjalan maksimal.
"Berhubungan dengan program kerja. Belum banyak yg bisa dilakukan oleh Ahok (sapaan Basuki) dalam pembangunan secara umum. Sekarang masuk di bulan Maret akhir. Waktu hanya April sampai Desember di tahun anggaran ini, riskan untuk pekerjaan-pekerjaan fisik," tutur pengamat tata kota Nirwono Joga kepada Kompas.com, Selasa (24/3/2015).
Joga berkaca pada rendahnya penyerapan anggaran di SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) DKI zaman Gubernur Joko Widodo. Saat itu, menurut Joga, merupakan penyerapan anggaran terendah selama 30 tahun terakhir di Jakarta. Dia pun mengkhawatirkan tahun ini penyerapan anggaran akan kembali rendah yang berdampak pada tidak maksimalnya realisasi program-program DKI.
"Kalau sekarang terjadi (penyerapan anggaran rendah), berarti masuk tahun ketiga. Kinerja umum jadi kurang baik. Ujung-ujungnya penanggulangan macet dan banjir tidak akan terlaksana secara total," tambah Joga.
Faktor lain agar program DKI bisa berjalan adalah dukungan dari DPRD. Meski demikian, ujar Joga, sampai sekarang belum ada niat baik dari Basuki untuk menjalin komunikasi dengan DPRD. Hal ini juga yang disebut berpotensi mengganggu pelaksanaan program-program lain ke depannya.
"Reformasi birokrasi memang sudah berjalan, tapi tolong diikuti dengan kinerja baik dari DPRD. Suka tidak suka, Pak Ahok harus bangun komunikasi yang baik dengan DPRD," jelas Joga.
Waktu Pemprov DKI tidak banyak. Jika sebelum masa jabatan Basuki habis di tahun 2017 dan belum ada perubahan, masyarakat bisa jadi ragu memilih kembali mantan Bupati Belitung Timur itu sebagai Gubernur.
Dua tahun terakhir ini juga harus dimanfaatkan secara maksimal. Selain masalah yang dihadapi masyarakat, Pemprov DKI punya target menyelesaikan persoalan macet dan pembangunan lain menjelang pelaksanaan Asian Games di tahun 2018.