Hal itu dikatakan pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan. Ia mengaku melihat kejadian tersebut pada Rabu (15/7/2015) pagi.
Menurut Tigor, besaran pungutan bervariasi antara Rp 1.000-Rp 2.000. Padahal sesuai aturan yang berlaku biaya peron seharusnya hanya sebesar Rp 1.000.
"Kalau pungutan itu pembayaran peron terminal, kenapa tidak ada bukti pembayarannya diberikan pada para pengunjung yang sudah membayar?" kata dia kepada Kompas.com.
Selain tidak memberikan karcis kepada penumpang yang membayar, Tigor juga menyebut penarikan tidak dilakukan di loket, melainkan dengan cara mencegat setiap penumpang yang ditemui.
"Kenapa tidak di loket? Ini termasuk pungli. Bagaimana mengontrol pemasukan dari para petugas yang mencegat dan memaksa meminta uang pada para pengunjung terminal? Bayangkan itu jumlah pengunjungnya ribuan, di saat musim mudik ini," ujar dia.
Saat dikonfirmasi tentang hal itu, Sekretaris Dinas Perhubungan dan Transportasi Anton Parura menyebut biaya peron merupakan penarikan resmi yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah.
Ia menyarankan agar penumpang yang dimintai uang oleh petugas untuk biaya tersebut meminta karcis sebagai bukti pembayaran.
Namun ia mengaku tidak tahu apabila penarikan biaya peron dilakukan dengan cara mencegat setiap penumpang yang ditemui. Sebab biasanya bila tidak dilakukan di peron, penarikan dilakukan di dalam bus yang akan berangkat.
"Kalau situasi seperti ini kan peron ramai. Jadi memang petugas tidak menarik di peron. Biasanya di dalam bus langsung," kata Anton.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.