Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyedotan Air Tanah di Jakarta Sulit Dihindari

Kompas.com - 21/03/2016, 21:04 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Penyedotan air tanah di Jakarta masih sulit dihindari seiring dengan penyediaan air bersih perpipaan yang belum menjangkau seluruh wilayah. Padahal, penyedotan air tanah diperkirakan menjadi salah satu pemicu utama penurunan muka tanah.

Berdasarkan data PAM Jaya, cakupan layanan air bersih sampai akhir tahun 2015 mencapai 814.000 sambungan atau sekitar 62,08 persen dari total wilayah Jakarta. ”Ada kenaikan 0,6 persen dibandingkan tahun 2014,” kata Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat, akhir pekan lalu.

Kebutuhan air bersih di DKI Jakarta mencapai 29.474 liter per detik. Namun, kapasitas produksi air perpipaan baru 17.875 liter per detik. Sejumlah warga dan pengelola gedung akhirnya menyedot air tanah dan mengolah air secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun pipa utama untuk mengalirkan air baku dari saluran induk Tarum Barat dari daerah Cakung menuju Cilincing dan Kamal Muara. Infrastruktur ini diharapkan menambah produksi air bersih untuk wilayah pesisir yang selama ini kekurangan.

Dalam kesempatan terpisah, Corporate Communication and Social Development Division Head PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) Meyritha Maryanie mengatakan, jumlah air baku dari Waduk Jatiluhur tidak bertambah sejak 1998. Karena itu, perlu diimbangi dengan sumber pasokan air baku lain lewat pemanfaatan air sungai. Kebutuhan air baku ini mendesak dan wajib dipenuhi karena jumlah pelanggan di Jakarta terus meningkat.

”Perlu ada konservasi air sungai yang berkelanjutan agar air permukaan di sungai-sungai di Jakarta bisa diolah menjadi sumber air baku. Dari 13 sungai yang melintasi Jakarta, tidak semua bisa diolah. Harapannya, ketahanan air Jakarta bisa meningkat,” ujar Meyritha dalam acara ”Walk for Water” di Jakarta, Minggu (20/3).

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyadari potensi bahaya akibat penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut. Oleh karena itu, selain memperkuat dan meninggikan tanggul laut, pemerintah juga menekan penyedotan air tanah dengan memperluas cakupan layanan air bersih perpipaan untuk meredam dampak buruknya.

Ketua Yayasan Pelestarian Lingkungan Hidup Komunitas Peduli Ciliwung Gema Bersuci Ikmaluddin Haziz mengatakan, di sekitar 112 titik di aliran Sungai Ciliwung masih terdapat penumpukan sampah akibat perilaku masyarakat dan industri yang membuang sampah atau limbah ke sungai. Kondisi ini ikut membuat sungai tidak bisa dijadikan air baku.

Menurut Ikmal, kondisi Sungai Ciliwung di beberapa daerah, khususnya Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, membaik. Banyaknya komunitas peduli sungai dapat menurunkan jumlah sampah lewat susur sungai. Beberapa organisme seperti ikan pun dapat hidup. Sosialisasi kepada masyarakat terus dilakukan. Dari situ, kualitas air sungai berpotensi untuk dapat diolah menjadi air baku. ”Tantangannya, bagaimana terus menyadarkan masyarakat untuk peduli air, membuat sungai jadi halaman rumah mereka,” ucap Ikmal.

Ahli gempa dan geodinamika dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, menuturkan, penurunan muka tanah di Jakarta bisa dikontrol oleh pengambilan air tanah. ”Ini sejalan dengan pola penurunan tanah yang mengikuti pola akuifer yang sirkular. Kalau dipicu sesar, polanya akan memanjang,” katanya.

Muka tanah turun

Ahli kelautan yang juga Lektor Kepala Bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor, Alan Koropitan, menyebutkan, kenaikan muka air laut tidak tepat dijadikan alasan membangun tanggul laut raksasa.

”Kenaikan muka air laut global akibat pemanasan iklim hanya 2-3 mm per tahun. Untuk Laut Jawa sekitar 7 mm per tahun. Jadi, mengaitkan kenaikan air laut dengan tanggul laut raksasa terlalu jauh. Persoalan Jakarta lebih karena penurunan muka tanah,” lanjutnya.

Menurut Alan, dengan adanya penurunan muka tanah, Jakarta membutuhkan dinding penghalang. ”Tetapi, cukup di lokasi-lokasi yang penurunan muka tanahnya ekstrem, misalnya Pluit atau Muara Angke,” ujarnya.

Pembangunan tanggul laut raksasa dan reklamasi pulau baru di Teluk Jakarta, menurut Alan, justru menjadi masalah baru. Misalnya, akan menyumbat aliran air di muara dan menambah sedimentasi sehingga ancaman banjir bertambah akibat limpasan air.

Penurunan muka tanah Jakarta lebih disebabkan faktor antropogenik karena pengambilan air tanah secara berlebih, selain juga struktur tanah yang aluvial. Pembangunan tanggul laut raksasa dan reklamasi di Teluk Jakarta dinilai tidak bisa mengatasi persoalan ini, bahkan bisa menjadi masalah baru.

Widjo Kongko, ahli kelautan Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, mengatakan, tanah turun di Jakarta progresif rata-rata 7,5 cm per tahun. Bahkan, berdasarkan penelitian geolog senior Jan Sopaheluwakan, sejak beberapa tahun lalu, daratan Jakarta terus turun dengan laju 4-20 cm per tahun. (AIK/MKN/DEA/C07)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Maret 2016, di halaman 1 dengan judul "Penyedotan Air Tanah Sulit Dihindari".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dishub DKI Tindak 216 Jukir Liar di Jakarta Selama Sepekan

Dishub DKI Tindak 216 Jukir Liar di Jakarta Selama Sepekan

Megapolitan
Diperiksa Polisi, Zoe Levana Cerita Kronologi Terjebak di Jalur Transjakarta Selama 4 Jam

Diperiksa Polisi, Zoe Levana Cerita Kronologi Terjebak di Jalur Transjakarta Selama 4 Jam

Megapolitan
Tumpukan Sampah Menggunung di Kembangan, Warga Keluhkan Bau Menyengat

Tumpukan Sampah Menggunung di Kembangan, Warga Keluhkan Bau Menyengat

Megapolitan
Polisi Tilang Zoe Levana Usai Terobos Jalur Transjakarta

Polisi Tilang Zoe Levana Usai Terobos Jalur Transjakarta

Megapolitan
PPDB SMP Jakarta 2024: Kuota, Seleksi, Jalur, dan Jadwalnya

PPDB SMP Jakarta 2024: Kuota, Seleksi, Jalur, dan Jadwalnya

Megapolitan
Gudang Ekspedisi di Bogor Disebut Mirip Kelab Malam, Setel Musik Kencang hingga Diprotes Warga

Gudang Ekspedisi di Bogor Disebut Mirip Kelab Malam, Setel Musik Kencang hingga Diprotes Warga

Megapolitan
PPDB 'Online', Disdik DKI Jamin Tak Ada Celah bagi Oknum Jual Beli Kursi Sekolah

PPDB "Online", Disdik DKI Jamin Tak Ada Celah bagi Oknum Jual Beli Kursi Sekolah

Megapolitan
Selebgram Zoe Levana Bantah Tudingan Terjebak di Jalur Transjakarta Cuma 'Settingan'

Selebgram Zoe Levana Bantah Tudingan Terjebak di Jalur Transjakarta Cuma "Settingan"

Megapolitan
Kasus DBD di Tangerang Selatan Meningkat, Paling Banyak di Pamulang

Kasus DBD di Tangerang Selatan Meningkat, Paling Banyak di Pamulang

Megapolitan
'Flashback' Awal Kasus Pembunuhan Noven di Bogor, Korban Ditusuk Pria yang Diduga karena Dendam

"Flashback" Awal Kasus Pembunuhan Noven di Bogor, Korban Ditusuk Pria yang Diduga karena Dendam

Megapolitan
Ketua Kelompok Tani KSB Dibebaskan Polisi Usai Warga Tinggalkan Rusun

Ketua Kelompok Tani KSB Dibebaskan Polisi Usai Warga Tinggalkan Rusun

Megapolitan
Polda Metro: Dua Oknum Polisi yang Tipu Petani di Subang Sudah Dipecat

Polda Metro: Dua Oknum Polisi yang Tipu Petani di Subang Sudah Dipecat

Megapolitan
Pasar Jambu Dua Bogor Akan Beroperasi Kembali Akhir Juli 2024

Pasar Jambu Dua Bogor Akan Beroperasi Kembali Akhir Juli 2024

Megapolitan
PPDB SD Jakarta 2024: Kuota, Seleksi, Jalur dan Jadwalnya

PPDB SD Jakarta 2024: Kuota, Seleksi, Jalur dan Jadwalnya

Megapolitan
Larang Bisnis 'Numpang' KK Dalam Pendaftaran PPDB, Disdik DKI: Kalau Ada, Laporkan!

Larang Bisnis "Numpang" KK Dalam Pendaftaran PPDB, Disdik DKI: Kalau Ada, Laporkan!

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com