TANGERANG, KOMPAS.com — Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan hukuman RA (16), terdakwa pembunuh karyawati EF (19).
Menurut majelis hakim, salah satu hal yang memberatkan adalah keterangan RA yang berbelit-belit selama penyidikan hingga proses persidangan.
"Menimbang fakta bahwa (terdakwa) anak berada di tempat terjadinya pembunuhan berdasarkan hasil pemeriksaan sidik jari dari bercak darah di dinding kamar korban," kata Ketua Majelis Hakim Suharni saat membacakan putusannya di Pengadilan Negeri Tangerang, Kamis (16/6/2016).
(Baca: Ibunda EF Teriaki Pengacara RA di Ruang Sidang)
Berdasarkan fakta persidangan, RA diketahui tidak sengaja memegang dinding kamar EF seusai membunuh bersama Rahmat Arifin (24) dan Imam Hapriadi (24).
RA tidak sengaja memegang dinding kamar EF seusai terciprat darah EF setelah ia bersama Arifin dan Imam menyiksa EF terlebih dahulu dengan pacul.
Selain itu, berdasarkan hasil tes DNA yang dilakukan Puslabfor Polri, RA terbukti menggigit bagian tubuh EF.
Gigitan itu merupakan salah satu bukti penyiksaan yang dilakukan RA dan dua pelaku lainnya terhadap EF.
Sementara itu, dalam persidangan, RA menyangkal isi berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat selama ia diperiksa penyidik.
Padahal, menurut majelis hakim, RA telah mengaku ikut membunuh EF kepada pihak lain, salah satunya Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Atas dasar itu, hakim menilai, keterangan RA berbelit-belit dalam persidangan.
"Bahwa anak telah mengakui perbuatannya tanpa kondisi di bawah tekanan kepada P2TP2A, menimbang bahwa di persidangan, anak menyangkal isi BAP. Majelis hakim meyakini, keterangan RA berbelit-belit sehingga mempersulit persidangan," tutur Suharni.
(Baca juga: Fakta Persidangan RA Dipakai untuk Melengkapi Berkas Dua Pembunuh EF Lainnya)
Melalui sejumlah pertimbangan lainnya, majelis hakim memutuskan untuk menjatuhkan hukuman maksimal sesuai dengan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan Berencana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan hukuman maksimal sepuluh tahun penjara.
Atas putusan ini, RA dan kuasa hukumnya menyatakan banding.