JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengatakan, munculnya wacana program perburuan tikus dilatarbelakangi semakin banyaknya tikus got di permukiman warga.
Penyebabnya, tak adanya predator alami bagi hewan pengerat yang dianggap sumber penyakit itu.
Secara alamiah, kata Djarot, predator bagi tikus adalah burung hantu dan ular. Namun, ia menyebut hewan-hewan tersebut bukan tipikal hewan yang bisa hidup di lingkungan perkotaan.
Djarot menyebut satu-satunya hewan perkotaan yang bisa dijadikan predator bagi tikus got adalah kucing.
"Ya, kalau di kota predatornya siapa? Kucing. Tapi kucing sudah enggak berani sama tikus," ujar Djarot di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (19/10/2016).
Menurut Djarot, kucing kota tidak berani menangkap tikus got karena ukuran tubuhnya yang sudah hampir menyamai ukuran kucing. Djarot menceritakan pengalamannya saat berkendara yang pernah menabrak seekor tikus got.
"Waktu safari Ramadhan di salah satu perkampungan, habis sholat tarawih pas lewat sempat nabrak tikus gede banget. Tak pikir kucing," ujar Djarot.
Menurut Djarot, teknis mengenai pelaksanaan program memburu tikus masih dibahas. Kemungkinan, program ini dilaksanakan dengan dengan meminta warga memburu tikus-tikus got yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.
Tikus yang ditangkap kemudian dikumpulkan di kantor kelurahan dan dihargai Rp 20.000 per ekor. Djarot menyebut bangkai-bangkai tikus yang terkumpul nantinya akan diolah menjadi pupuk.
"Yang kita buru adalah tikus-tikus got, yang gede-gede itu lho. Yang suka gigitin kabel," ucap Djarot.