Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tentang Ruang Publik, Jakarta Perlu Belajar pada Surabaya

Kompas.com - 02/11/2013, 15:36 WIB

Oleh: Susi Ivvaty dan Ringki Rinaldi

Sumarni (50) bersyukur ada Kanal Banjir Timur, yang oleh warga disebut BKT alias Banjir Kanal Timur. Proyek yang awalnya diprotes warga karena harus menggusur permukiman penduduk itu kini menjadi oase bagi warga, dan Sumarni biasa berjualan di situ meski itu sebenarnya juga dilarang.

Sebelumnya ia menganggur dan hanya mengandalkan penghasilan dari suaminya. Kini warga asal Tegal, Jawa Tengah, itu berpenghasilan sendiri. ”Sehari ada kalau Rp 200.000-Rp 300.000,” katanya.

Kelegaan serupa dirasakan Siti, warga Cipinang Bali yang asli Blora, Jateng, yang selama ini menganggur dan bersuamikan lelaki Betawi yang kerjanya serabutan. ”Suami males, duit datangnya juga males. Sejak ada BKT, saya jualan minuman dan mi. Buka sore tutup malam banget jam sebelasan. Dapatnya lumayan, nyampe Rp 200.000,” kata Siti yang lapaknya di seberang 7-Eleven di Jalan Basuki Rahmat, Jakarta Timur.

Di kawasan Bulungan dan Jalan Mahakam, Blok M, Jakarta Selatan, penjual gulai kambing seperti Poniman juga membutuhkan lahan kosong semacam itu. Sekitar 100 porsi bisa dijualnya dalam sehari pada saat ramai. Poniman yang mulai berjualan gulai sejak tahun 1989 itu mendapat jatah berjualan setiap Minggu, Senin, dan Selasa.

”Dulu di lokasi ini hanya ada sekitar 10 penjual, sekarang ada 20 orang,” ujar Poniman yang berasal dari Sukoharjo, Jawa Tengah, itu.

Puluhan orang Sumarni kini mensyukuri adanya jalan kosong di jalur BKT sepanjang 6,7 kilometer dari Cipinang ke Pondok Kopi. Sumarni dan kawan-kawan berharap sedikit tanah kosong di pinggir jalan di jantung kota Jakarta itu tidak ditutup.

Ratusan warga menikmati keberadaan jalur terbuka itu untuk tempat nongkrong, berekreasi, dan bercengkrama. Mereka membutuhkan tempat seperti itu sebagai perimbangan atas penatnya hidup di Ibu Kota.

Orang butuh rekreasi, bahkan saban hari, tidak hanya ketika akhir pekan. Itulah alasan betapa penuhnya ruang-ruang terbuka pinggir jalan, saban hari. Orang berpunya mungkin bisa menghabiskan waktu di kafe atau mal-mal berpenyejuk ruangan. Parkir mahal pun bukan persoalan. Namun, bagi kelas menengah ke bawah, rekreasi model seperti itu berat di ongkos.

”Akhirnya orang-orang merebut kantong-kantong gratis tanpa penjagaan itu. Jembatan layang, jembatan penyeberangan sungai, pinggir sungai, lahan kosong, pinggir jalan, termasuk jalur Kanal Banjir Timur itu. Mereka membutuhkan ruang untuk interaksi, berbagi, sosialisasi,” papar Yayat Supriyatna, pengamat perkotaan dan lanskap.

Privatisasi lahan

Yayat melihat fenomena ”merebut” lahan kosong ini juga terjadi di daerah-daerah penyangga Jakarta, seperti Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Saat malam menjelang, jembatan layang menjadi penuh oleh muda-mudi yang memarkir motornya.

”Para remaja memanfaatkan kekosongan. Mereka merebut ruang-ruang publik yang tak terjaga. Saat ini tanah kosong makin minim. Bahkan, gang pun sudah menjadi rumah. Mereka mengambil tempat-tempat kosong itu dengan caranya sendiri. Orang lain memanfaatkan, ada yang berjualan rokok dan kopi di situ,” papar Yayat.

Semua itu terjadi, kata Yayat, karena ruang-ruang publik sudah diprivatisasi. Semua karena kapital. Untuk kebutuhan rekreasi, tanah harus dibeli. Semua lahan menjadi ajang berbisnis. Semua dibisniskan. Di mana tanah dipijak, di situ kita membayar.

"Saya rasa Jakarta perlu belajar dari Surabaya soal bagaimana mengelola taman-taman kota. Taman dan ruang terbuka musti ditata, dikreasi dengan konsep ruang terbuka masa kini. Ada wifi-nya, lampu-lampu, keamanan, dan parkir gratis," papar Yayat.

Kebutuhan untuk rekreasi, berdiskusi, berinteraksi, dan bersosialiasi anak-anak muda tidak pernah berubah meski zaman berubah. Bedanya, dulu kebutuhan itu diwadahi. Sebut saja pada zaman Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang membangun gelanggang remaja dan menghidupkan kegiatan-kegiatan keremajaan.

”Dulu juga ada karang taruna. Lalu ada remaja masjid. Dibikinlah kegiatan-kegiatan. Sekarang ini fungsi kelembagaan tingkat remaja itu makin hilang. Kini orang cenderung berinteraksi lewat dunia maya. Itu tidak dapat ditolak seiring perubahan zaman. Namun, mereka tetap butuh bertatap muka. Nah, saat mau kopdar (ketemu), di mana ruangnya? Habis, tidak ada yang gratis,” kata Yayat.

Ketika semua hal sudah dibisniskan, beginilah yang terjadi. Tidak menutup kemungkinan, pinggiran KBT itu pun nantinya dipatok-patok. Orang berebut lapak. Preman setempat mengambil keuntungan, menjaga parkir kendaraan. Tidak ada lagi yang gratis.

”Maka, jangan sampai warga kehilangan ruang terbuka yang semestinya bisa dinikmati secara gratis. Jangan berlama-lama melakukan pembiaran. Ruang- ruang terbuka sebaiknya diawasi, jangan sampai lagi-lagi dibisniskan. Selain itu, pemerintah bisa membeli lahan warga untuk dijadikan ruang rekreatif,” imbuh Yayat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Komnas PA Bakal Beri Pendampingan Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah

Komnas PA Bakal Beri Pendampingan Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah

Megapolitan
Penanganan Kasus Pemerkosaan Remaja di Tangsel Lambat, Pelaku Dikhawatirkan Ulangi Perbuatan

Penanganan Kasus Pemerkosaan Remaja di Tangsel Lambat, Pelaku Dikhawatirkan Ulangi Perbuatan

Megapolitan
Pendaftaran PPDB Jakarta Dibuka 10 Juni, Ini Jumlah Daya Tampung Siswa Baru SD hingga SMA

Pendaftaran PPDB Jakarta Dibuka 10 Juni, Ini Jumlah Daya Tampung Siswa Baru SD hingga SMA

Megapolitan
Kasus Perundungan Siswi SMP di Bogor, Polisi Upayakan Diversi

Kasus Perundungan Siswi SMP di Bogor, Polisi Upayakan Diversi

Megapolitan
Disdik DKI Akui Kuota Sekolah Negeri di Jakarta Masih Terbatas, Janji Bangun Sekolah Baru

Disdik DKI Akui Kuota Sekolah Negeri di Jakarta Masih Terbatas, Janji Bangun Sekolah Baru

Megapolitan
Polisi Gadungan yang Palak Warga di Jaktim dan Jaksel Positif Sabu

Polisi Gadungan yang Palak Warga di Jaktim dan Jaksel Positif Sabu

Megapolitan
Kondisi Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah Sudah Bisa Berkomunikasi

Kondisi Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah Sudah Bisa Berkomunikasi

Megapolitan
Polisi Gadungan di Jaktim Palak Pedagang dan Warga Selama 4 Tahun, Raup Rp 3 Juta per Bulan

Polisi Gadungan di Jaktim Palak Pedagang dan Warga Selama 4 Tahun, Raup Rp 3 Juta per Bulan

Megapolitan
Pelajar dari Keluarga Tak Mampu Bisa Masuk Sekolah Swasta Gratis Lewat PPDB Bersama

Pelajar dari Keluarga Tak Mampu Bisa Masuk Sekolah Swasta Gratis Lewat PPDB Bersama

Megapolitan
Dua Wilayah di Kota Bogor Jadi 'Pilot Project' Kawasan Tanpa Kabel Udara

Dua Wilayah di Kota Bogor Jadi "Pilot Project" Kawasan Tanpa Kabel Udara

Megapolitan
Keluarga Korban Begal Bermodus 'Debt Collector' Minta Hasil Otopsi Segera Keluar

Keluarga Korban Begal Bermodus "Debt Collector" Minta Hasil Otopsi Segera Keluar

Megapolitan
Masih di Bawah Umur, Pelaku Perundungan Siswi SMP di Bogor Tak Ditahan

Masih di Bawah Umur, Pelaku Perundungan Siswi SMP di Bogor Tak Ditahan

Megapolitan
Polisi Gadungan di Jaktim Tipu Keluarga Istri Kedua Supaya Bisa Menikah

Polisi Gadungan di Jaktim Tipu Keluarga Istri Kedua Supaya Bisa Menikah

Megapolitan
Ini Berkas yang Harus Disiapkan untuk Ajukan Uji Kelayakan Kendaraan 'Study Tour'

Ini Berkas yang Harus Disiapkan untuk Ajukan Uji Kelayakan Kendaraan "Study Tour"

Megapolitan
Siswa SMP Lompat dari Gedung Sekolah, Polisi: Frustasi, Ingin Bunuh Diri

Siswa SMP Lompat dari Gedung Sekolah, Polisi: Frustasi, Ingin Bunuh Diri

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com