JAKARTA, KOMPAS.com —
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta didesak segera mengevaluasi lalu lintas kendaraan bertonase besar di kawasan Kota Tua menyusul runtuhnya bagian atas gedung cagar budaya milik BUMN di bawah Perusahaan Perdagangan Indonesia di Kali Besar Timur 3/17, Kota Tua, Jakarta Barat.

Desakan muncul dari Ketua Jakarta Heritage Trust (komunitas pemilik gedung cagar budaya di Kota Tua) Ella Ubaedi, Kepala Divisi Management Asset Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Robert Tambunan, serta peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, yang dihubungi terpisah, Minggu (26/1).

Menurut Bambang, faktor terbesar penyebab roboh atau runtuhnya gedung cagar budaya adalah adanya getaran jalan saat dilewati kendaraan bertonase tinggi. ”Saya juga heran, bukannya transjakarta dialihkan memutar Stasiun Beos dan tidak masuk ke kawasan Kalibesar, tetapi justru dibangun halte transjakarta dan terminal bus baru,” ujar Bambang.

Secara umum, Bambang menilai ada tiga faktor yang membuat bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua terancam roboh. Pertama, penurunan tanah akibat banjir rob dan beban lalu lintas kendaraan bertonase berat. Kedua, soal pengaturan lalu lintas di kawasan Kota Tua. Ketiga, terjadinya pembiaran oleh pemilik cagar budaya karena kesal menghadapi belitan aturan renovasi yang bertele-tele dan mahal.

Robert menambahkan, sebaiknya Pemprov DKI Jakarta juga meneliti kembali tingkat penurunan tanah di Kota Tua akibat lalu lalang kendaraan bertonase besar.

”Saya, kan, sudah berulang kali menyampaikan dan sudah berulang kali pula dikutip media massa, tolong Pemprov DKI mengevaluasi kembali lalu lintas kendaraan bertonase besar di Kota Tua. Tolong bebaskan kawasan Kota Tua dari kendaraan bertonase besar,” ujar Ella.

Runtuh

Sekitar separuh bagian gedung milik PPI, Jumat, runtuh. Gedung ini dirancang Biro Arsitek Cuypers & Hulswit dan dibangun pada 1912.

Bangunan tersebut, kata Robert, masih menjadi bagian dari gedung cagar budaya Menara Kembar yang juga milik PPI.

Ketua Balai Konservasi DKI Candrian Attahiyat menambahkan, Menara Kembar dulu digunakan sebagai kantor Internationale Crediet en Handels Maatschappij yang kemudian dinasionalisasi menjadi Bank Exim serta gedung Koloniale Zee en Brand Assurantie Maatschappij yang dinasionalisasi menjadi BUMN Tjipta Niaga. Kini, Tjipta Niaga di bawah PPI.

Terminal

Tidak jauh dari gedung PPI yang runtuh itu, ada terminal bus baru, Jakarta Kota, yang sudah selesai dibangun dan tampaknya tinggal menunggu peresmian. Di atas gerbang masuk terminal terpampang papan jalur satu, jalur dua, dan jalur tiga.

Jalur satu menjadi pintu masuk kendaraan APTB dan kendaraan bernomor rute P33, K02, K86, dan U29. Jalur dua menjadi pintu masuk kendaraan M12, M15, M15A, dan M10. Sementara jalur tiga menjadi pintu masuk kendaraan M08, M39, M25, U10, dan B06.

Dua halte baru di kawasan ini dibangun di Jalan Kalibesar Barat di depan Toko Merah dan di Jalan Kunyit dekat gedung cagar budaya Dasaad yang kini sudah tak beratap menunggu ambruk.

Sejak awal, Jakarta Heritage Trust menolak rencana pembangunan busway dan halte transjakarta di Kota Tua. Meski demikian, rencana itu terus berlanjut dan terealisasi.

Di Jakarta Utara di Jalan Pakin, Penjaringan, bangunan cagar budaya berupa Menara Syahbandar, Museum Bahari, sudah miring lima derajat. Bangunan ini miring diduga disebabkan Jalan Pakin dilintasi truk peti kemas. Saat truk melintas, mereka yang berdiri di menara merasakan getaran besar.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Kota Tua Gathut Dwihastoro pernah mengimbau Gubernur DKI Joko Widodo agar melarang kendaraan bertonase besar melintas di kawasan Kota Tua. (WIN)