Akhirnya, dengan terbata-bata, T mengatakan betapa sampai saat ini anaknya selalu setengah telanjang. AK (6), putra T, trauma berat dan menganggap jika ia bercelana akan datang lagi gerombolan laki-laki dan perempuan yang dulu memerkosanya di kamar kecil di lingkungan sekolahnya.
Bagi T, AK adalah anak spesial karena ia susah payah mendapatkannya. T berhenti bekerja dan menjalani pengobatan di luar negeri agar bisa mengandung dan melahirkan anaknya. Ia sempat keguguran sebelum akhirnya AK tumbuh sehat di kandungan dan lahir sebagai bayi laki-laki yang menggemaskan. ”Saya tahu bahaya predator anak. Sejak awal, saya hati-hati memilih suster (pengasuh). Saya juga mengantar dan menjemput sendiri anak saya. Di sekolahnya yang mahal dan berlabel internasional, orangtua murid pun bahkan tidak bisa masuk sembarangan,” kata T.
Jadi, lanjut T, ia sungguh tidak terima ketika menghadapi kenyataan bahwa ada dua laki-laki dewasa memegangi tangan anaknya, lalu laki-laki lain memerkosanya. Kemudian, mereka bergiliran mengulang kejahatan itu hingga beberapa kali. ”Satu orang Emon saja di Sukabumi, korbannya lebih dari 100 anak. Bagaimana dengan sekelompok pemerkosa anak? Saya yakin korban mereka banyak,” kata T.
T meminta kasus anaknya diusut tuntas. Namun, ia merasa penegakan hukum berlangsung lambat. Pihak sekolah juga tidak terbuka dan kooperatif membongkar kasus ini.
Namun, T bertekad tidak akan berhenti mencari keadilan. ”Saya minta dukungan. Saya akan teruskan dan kawal sendiri proses hukum kasus anak saya ini. Saya juga akan meminta agar penanganan kasus serupa lebih serius. Saya ingin ketemu DPR dan mengadu,” katanya.
Kisah tak kalah tragis dialami seorang bocah perempuan berusia 3 tahun 11 bulan asal Depok, Jawa Barat. Ayah si bocah, I, turut memberi testimoni dalam deklarasi melawan kejahatan terhadap anak yang dimotori Ibu Bergerak dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). ”Saya dan istri sehari-hari bekerja dari pagi hingga sekitar pukul 18.00. Anak saya titipkan ke tetangga yang saya percaya. Ternyata anak saya justru jadi korban kejahatan seksual. Ada anak remaja usia 13 tahun di situ yang mencabuli anak saya,” kata I.
I mengatakan, kasus yang menimpa anaknya terkuak ketika si bocah dimandikan, ada yang aneh di alat vital korban. Saat diperiksakan ke puskesmas, dokter segera memberi rujukan ke rumah sakit. Dari pemeriksaan di rumah sakit, terbukti alat vital korban robek dan luka. I sempat naik pitam ketika membawa anaknya melapor ke polisi. Namun, petugas polisi laki-laki justru berkata kasar dan tak sabar menghadapi anaknya yang ketakutan.
”Saya marah-marah dan meminta ganti petugas. Baru kemudian datang petugas perempuan,” katanya.
Menurut I, pelaku sudah pernah ditahan. Namun, karena masih di bawah umur, pelaku baru akan ditahan lagi jika sudah masuk masa persidangan. Keluarga pelaku sempat mendatangi rumah I dan menuduh I memfitnah mereka. Hingga kini, pengurus RT/RW di tempat tinggal I belum pernah terlibat langsung dalam penyelesaian kasus ini.
Sudah sering terjadi, korban dan segelintir orang yang peduli selalu dibiarkan berjuang sendiri. Untuk itu, Ibu Bergerak dan Komnas PA berupaya agar ada gerakan massal guna mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap anak. (NELI TRIANA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.