”Waktu kebakaran tahun 2012, rumah saya di Jalan A juga terbakar. Habis semua. Sampai sekarang, rumah itu belum selesai dibangun,” ujar Atep, Selasa (24/2/2015).
Sehari-hari, Atep berdagang onderdil bekas untuk mobil di Asem Reges. Senin sore, seperti kebiasaannya, Atep pulang untuk shalat. Baru tiba di ujung gang masuk rumahnya, api sudah berkobar dan membakar rumah mertuanya.
”Saya langsung bantuin mertua ngeluarin barang. Eh, saya lupa rumah saya. Begitu ingat, rumah sudah terbakar juga,” kata pemilik rumah berukuran 33 meter persegi itu.
Selasa siang, dia tengah mengumpulkan besi, seng, dan benda lain yang masih berharga untuk kemudian dijual ke tukang beli barang bekas. Hasil dari menjual sisa-sisa kebakaran itu akan menjadi penyambung hidup keluarga Atep.
Sopinah (56) mengalami hal serupa. ”Tahun 1978, kebakaran terjadi di sini. Rumah saya terbakar lalu dibangun. Eh, sekarang lagi,” kata warga RT 007 RW 001 Kelurahan Karanganyar itu.
Kali ini, rumah yang ia tempati bersama dua kerabatnya hanya tersisa tembok bagian bawah. Beruntung dia punya asuransi kebakaran sehingga ada modal membangun ulang rumahnya.
Kebakaran membuat Ina (32) harus ekstra menenangkan anaknya yang baru berumur 8 bulan. ”Mungkin suasana enggak enak ya. Di pengungsian beda dengan rumah,” katanya.
Tidak hanya itu, dia dan suaminya juga harus merogoh kocek lebih untuk membayar uang kos pasca kebakaran. ”Ada kos, tapi harganya Rp 900.000 per bulan. Kalau di tempat yang terbakar, Rp 300.000 saja. Tapi ini darurat, kalau enggak segera diambil, bisa hilang tuh kamar,” kata Ina yang bersuamikan penjaga parkir di sebuah hotel itu.
Strategis dan padat
Camat Sawah Besar Henri Perez Sitorus mengatakan, 2.245 orang kehilangan tempat tinggal akibat kebakaran ini. ”Ini kebakaran kedua selama menjadi camat di sini. Desember 2014, kebakaran juga terjadi di pemukiman padat,” ucapnya.
Henri melihat, persoalan kebakaran tidak bisa dilepaskan dari kepadatan penduduk di wilayahnya, terutama di Kelurahan Karanganyar, Kartini, dan Mangga Dua. Apalagi, lokasi tersebut strategis dan dekat dengan tempat perdagangan, tempat hiburan, dan lokasi bisnis.
Dengan lahan terbatas, warga membangun rumah bertingkat hingga tiga bahkan empat lantai. Rumah bersusun tinggi ini bahkan bermunculan di dalam gang sempit, seperti di lokasi kebakaran. Bagian atas rumah banyak yang dibangun dari tripleks atau kayu sehingga mudah terbakar.
Selain itu, instalasi listrik di tiap kamar kos atau rumah menjadi tidak terkontrol. Ini yang kerap memicu kebakaran. ”Semua tidak bisa dilepaskan dari akumulasi masalah selama bertahun-tahun sehingga muncul kebakaran besar,” kata Henri.
Perbaikan lingkungan juga tidak mudah. Banyak warga menolak kampung deret karena enggan tanah mereka terpotong untuk pelebaran jalan. Tawaran ganti rugi sesuai nilai jual obyek pajak (NJOP) atau kompensasi membangun rumah tingkat yang tinggi juga tidak mempan. Henri berharap, ada tim tingkat provinsi yang bisa bersinergi menyelesaikan masalah tersebut.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengatakan, pihaknya serius merevitalisasi permukiman kumuh dan padat penduduk. ”Kami ingin membangun kampung-kampung yang sehat. Salah satu caranya dengan membangun kampung deret atau relokasi ke rumah susun. Kawasan ini dijadikan ruang terbuka hijau. Ada banyak kemungkinan, perlu pemikiran dan program yang jelas,” ujarnya. (FRO/ART)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.