"Saya heran masak paripurna enggak ada berkas yang di-print out keluar? Mereka bilang 'gampang-gampang'. Waktu dalam rapat paripurna kemarin, ada enggak Ketua (DPRD) menyerahkan berkas APBD? Enggak ada, itu masalahnya," kata Basuki di Balai Kota, Rabu (25/2/2015).
Menurut Basuki, semua pejabat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) DKI diwajibkan mengisi serta menginput program ke dalam sistem e-budgeting. Pengisian program itu, kata Basuki, dapat dipertanggungjawabkan dan diketahui oleh Bappeda DKI.
Program-program yang telah disusun itu kemudian dikoreksi kembali oleh Gubernur dan disahkan di paripurna. Setelah itu, Pemprov DKI langsung mengajukan dokumen APBD ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Hal itu mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 PUU-XI Tahun 2013 perihal pembahasan APBD pasca-putusan MK dan penghematan serta permohonan anggaran belanja.
Pandangan ini berbeda dengan anggota DPRD DKI yang menyatakan komisi masih berhak membahas anggaran bersama SKPD setelah pengesahan. "Justru saya pertanyakan, kenapa DPRD tiba-tiba keluarkan bundelan (APBD) sendiri yang bukan diisi sama SKPD dan diberikan ke kami untuk diajukan ke Kemendagri. Apa itu enggak melanggar aturan? MK sudah putuskan, jangankan ngisi (program), urusin lembar ketiga DPRD saja enggak boleh, kok," kata Basuki.
Basuki mengaku memiliki bukti upaya penyusupan anggaran siluman sebesar Rp 12,1 triliun oleh oknum DPRD setelah APBD disahkan dalam paripurna. Ia menyebutkan, ada wakil ketua komisi yang meng-crop (memotong) 10-15 persen anggaran program unggulan yang telah disusun dan disahkan di paripurna. Kemudian, potongan anggaran itu dialokasikan untuk program bukan prioritas, dengan total mencapai Rp 12,1 triliun. Misalnya pembelian perangkat Uninterruptible Power Supply (UPS) untuk semua kantor kecamatan dan kelurahan di Jakarta Barat. Perangkat itu berfungsi sebagai penyedia listrik cadangan atau tambahan pada bagian tertentu, seperti komputer, data center, atau bagian lain yang penting untuk mendapat asupan listrik secara terus-menerus pada waktu tertentu.
"Begitu e-budgeting, enggak bisa lagi masukin anggaran siluman. Eh, mereka masih nekat bikin (APBD) sendiri juga, ketahuan dong. SKPD saya tanya pernah enggak kamu pesan UPS, mereka bilang enggak ada. Masak beli UPS sampai Rp 4,2 miliar, rumah saya saja pakai genset enggak sampai Rp 100 juta harganya kok," kata Basuki.
Menurut Basuki, siasat anggota DPRD untuk menyusupkan anggaran siluman adalah dengan mengajukan program ke SKPD dan meminta SKPD untuk menginputnya ke dalam e-budgeting. Saat ini, Basuki mengklaim telah memperingatkan para SKPD untuk tegas menolak menginput program "pesanan" DPRD itu.
"Setelah paripurna pengesahan, tiga hari mereka (staf anggota DPRD) sibuk crop (anggaran) tengah malam dan kami punya intel mengawasi mereka. Mereka (anggota DPRD) masukin anggaran versi mereka, tanda tangan, print out, dan dikirim ke saya. Mereka ingin saya kirim APBD versi mereka ke Kemendagri dan yang saya kirim itu APBD yang disahkan di paripurna. Sekarang saya sudah putuskan, lebih baik diturunkan dari Gubernur daripada menghabiskan Rp 12,1 triliun dipakai buat belanja yang enggak masuk akal," tegas Basuki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.