"Saya kira dalam hal mengurus kota Jakarta Raya ini baik juga een beetje koppigheid (sedikit keras kepala),” kata Bung Karno. Presiden pertama RI itu mengetahui betul Ibu Kota, bahkan di tahun 1960-an sampai 1970-an, adalah rimba belantara berbagai persoalan yang tidak gampang diselesaikan.
Wartawan terkenal Mochtar Lubis menggambarkan Jakarta pada tahun 1965 sungguh memalukan dan menyedihkan. Di saat negeri ini inflasi mencapai 650 persen, Jakarta mengalami krisis hampir di semua bidang kehidupan, mulai dari lapangan kerja, transportasi, komunikasi, pendidikan, hingga perumahan.
Untuk menyelesaikan masalah-masalah berat itu, Bung Karno menunjuk Ali Sadikin, seorang mayor jenderal Korps Komando Angkatan Laut sebagai Gubernur DKI Jakarta (1966-1977). Kelak, dengan segala tindak-tanduknya yang luar biasa, negeri ini mengenal Bang Ali sebagai Gubernur DKI Jakarta yang tegas. Langkah-langkahnya kontroversial, termasuk menyelenggarakan judi yang uangnya digunakan untuk membiayai pembangunan Ibu Kota.
Bang Ali dikenal sebagai gubernur yang keras, cerdik, konsekuen, dan konsisten terhadap kebijaksanaannya, merakyat, berdiri di atas semua golongan, dan terbuka. Kisah Bang Ali bisa dibaca dalam buku karya Ramadhan KH, Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977 (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992).
Semua pemimpin konon dilahirkan sesuai zamannya. Demikian juga gubernur DKI Jakarta yang akan dikenang atau dicatat sejarah karena tindak-tanduknya mengelola Ibu Kota. Selepas Bang Ali, gubernur-gubernur DKI silih berganti: Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto, Soerjadi Soedirdja, Sutiyoso, Fauzi Bowo, hingga Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Orang, misalnya, akan mengenang Wiyogo Atmodarminto sebagai gubernur yang menghapus keberadaan becak di Ibu Kota. Dengan konsep bersih, manusiawi, dan berwibawa (BMW), Wiyogo membersihkan Jakarta dari becak.
Kendaraan bertenaga manusia itu bukan saja dituduh sebagai biang kemacetan dan kuno, tetapi juga dianggap sebagai bentuk exploitation de l’homme par l’homme (pengisapan manusia atas manusia). Para penarik becak diupayakan beralih menjadi sopir angkot atau membekalinya dengan berbagai keterampilan lain.
Sutiyoso memberlakukan kebijakan pembatasan penumpang atau three in one di jalur-jalur protokol Ibu Kota. Dia juga mengadopsi sistem angkutan massal jaringan bus transjakarta yang memiliki jalurnya sendiri.
Baik kebijakan Wiyogo terkait becak maupun Sutiyoso soal pembatasan kendaraan mendapat tentangan luar biasa. Tetapi, konsistensi dan ketegasan mereka untuk menyelesaikan ”misinya” menjadikan kebijakannya dapat terlaksana.
Walaupun kurang dari dua tahun menjadi gubernur DKI, gaya blusukan Joko Widodo menjadi media darling. Dia, antara lain, meninggalkan kebijakan Kampung Deret, Kartu Jakarta Sehat, dan Kartu Jakarta Pintar.
Setelah berganti-ganti gubernur, masalah yang dihadapi Jakarta tak pernah selesai dan masih relatif sama: perumahan rakyat minim, banjir yang tak pernah tertangani, kemacetan menggila, sarana umum memprihatinkan, hingga buruknya pelayanan angkutan umum. Jakarta juga masih tetap ibarat gula untuk didatangi para pengadu nasib dari provinsi lain.
Masyarakat yang semakin kritis dan nyinyir menambah tantangan bagi Gubernur Jakarta saat ini. Jakarta kini bukan hanya membutuhkan gubernur yang keras kepala, tetapi juga seorang gubernur ”gila” yang berani, tegas, bersih, dan konsisten.
Apalagi, seperti dibilang Basuki di saat kisruh anggaran APBDI DKI, dia bukan hanya menghadapi manusia, tetapi juga ”siluman”!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.