Oleh karena itu, ketika Joko Widodo masih menjabat sebagai Gubernur DKI dan Basuki sebagai Wakil Gubernur DKI, banyak pihak yang menolak penerapan sistem penyusunan anggaran melalui sistem e-budgeting. Penolakan ini berujung pada keterlambatan lelang tender dan mandeknya pembangunan di Ibu Kota.
"Tadi malam, saya baru bertemu dengan gubernur se-Indonesia, saya tanya, 'apa ya yang salah di negeri ini?'. Kemudian, saya evaluasi APBD 2,5 tahun ke belakang, saya enggak lihat (pembangunan) apa-apa di Jakarta karena banyak (PNS) yang tidak terbiasa pakai duit (APBD) dengan benar," kata Basuki saat memberi sambutan dalam Peresmian Gedung Pengolahan Lumpur Aetra, di Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (12/5/2015).
Selama ini, lanjut Basuki, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan unit kerja perangkat daerah (UKPD) hanya bertindak sebagai penanda tangan dokumen saja, sementara pihak ketiga atau swasta yang merancang, menganggarkan, serta membeli barang dan jasa SKPD serta UKPD tersebut.
Hal itu pula yang menyebabkan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran. Nantinya, jika perusahaan tersebut memenangkan tender, akan ada sebuah bagi hasil APBD antara oknum SKPD dan oknum pengusaha.
"Kami ajukan e-budgeting dan memasukkan harga satuan benar. Mereka (SKPD) tidak bisa ajukan tender. Selama ini, mereka hanya terima bersih, pengusaha rancang proyek, tanda tangan, dan bagi-bagi keuntungan," kata Basuki.
Basuki mengaku sudah memprediksi banyaknya gesekan yang terjadi ketika DKI mulai menerapkan sistem e-budgeting. Ia juga tidak mempermasalahkan besaran serapan akibat molornya pelaksanaan program-program unggulan Ibu Kota.
"Tahun ini saya santai saja, anggaran tidak terserap biar saja. Hanya saja, pegawai-pegawai yang mengulur waktu ini yang bikin saya marah," kata Basuki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.