Komisioner Komisi Nasional Perempuan Indriyati Suparno mengatakan, jika sikap dari pasangan tidak sesuai dengan kesepakatan sebelum pernikahan atau ada unsur pemaksaan, seseorang perlu mewaspadai itu merupakan bentuk kekerasan. Penolakan wajar dilakukan.
"Namun, di dalam konteks kasus KDRT, jika menjadi korban, memang tidak mudah melakukan komunikasi (dengan pasangan yang menjadi pelaku)," kata Indri kepada Kompas.com, Kamis (25/6/2015).
Oleh karena itu, jika sudah menolak tetapi tetap dipaksa, seseorang bisa melaporkannya. Paling tidak, kata dia, menceritakannya kepada orang yang dipercaya.
Indri menjelaskan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sesuai dengan ruang lingkupnya merupakan kekerasan berbasis jender yang korbannya bisa istri, suami, anak, atau kompenen keluarga lain yang tinggal dalam rumah tangga.
Pemaksaan, kata dia, merupakan bentuk kekerasan psikis. "Kalau ada unsur pemaksaan, artinya itu merupakan kekerasan psikis," kata dia.
Namun, jika sudah disertai dengan tindakan, hal itu termasuk bentuk kekerasan fisik sekaligus seksual. Itu jelas melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Jika dilaporkan dan terbukti melakukan KDRT, pelakunya bisa diberikan hukum pidana. Ancaman hukumannya ialah paling lama lima tahun kurungan penjara atau denda paling banyak Rp 15 juta.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.