Dia berangkat dari Stasiun Sudimara, Tangerang Selatan. Untuk mencapai tempat kerjanya di Senayan, Jakarta Pusat, hanya butuh sekitar 30 menit. "Jika bawa mobil sendiri, paling cepat 1,5 jam. Bisa-bisa malah 2 jam!" katanya.
Obrolan semacam itu sudah berulang-ulang dan bukan hal baru. Kepopuleran kereta komuter Jabodetabek terus meningkatkan jumlah pengguna angkutan massal tersebut.
Data PT KCJ juga mencatat, volume penumpang kereta komuter meningkat rata-rata 30 persen per tahun. Jumlah penumpang pada 2014 tercatat 206,78 juta orang atau naik 31,18 persen dari tahun sebelumnya yang 157,63 juta orang.
Kini, semakin banyak warga Jakarta yang lari dari kemacetan. Mobil-mobil pribadi menganggur di garasi.
Banyak warga pinggiran Ibu Kota yang menggunakan kendaraan pribadi saat akhir pekan saja untuk acara keluarga.
Tidak heran jika pada akhir pekan, kemacetan justru berpindah ke pusat-pusat permukiman warga di pinggiran Jakarta.
Sedikit masalah bagi para pengguna angkutan massal tersebut adalah kendaraan penghubung dari rumah ke stasiun atau dari stasiun ke tempat kerja mereka.
Park and ride sudah lumayan disediakan di sejumlah stasiun luar Jakarta, seperti di Rawa Buntu atau di Sudimara, Tangerang Selatan.
Sudah menjadi pemandangan biasa jika di lokasi parkir stasiun tersebut terparkir mulai dari mobil lama hingga mobil terbaru.
Kesiangan sedikit, perlu upaya lebih keras untuk mendapatkan tempat parkir.
Peluang kebutuhan parkir itu juga menjadi bisnis tersendiri bagi mereka yang jeli. Ratusan, mungkin ribuan, motor memerlukan lokasi parkir. Potensi pemasukan puluhan juta rupiah per hari ada di depan mata.
Selain mereka pengguna park and ride, banyak juga yang setia menggunakan angkutan umum atau ojek untuk mencapai stasiun dari permukimannya atau dari stasiun ke tempat kerjanya.
Dalam hal itu, tampak kebelumsiapan pemerintah menyediakan interkoneksi bagi pengguna angkutan umum.
Apa yang terjadi kemudian adalah warga terpaksa mencari cara memenuhi kebutuhan transportasinya.