JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anto Tri Sugiarto mengatakan, idealnya kota seperti DKI Jakarta memerlukan setidaknya 10 insinerator berskala besar. Dengan demikian, maka Ibu Kota dapat mengelola sampahnya sendiri.
"DKI butuh 10 insinerator skala besar, baru bisa kelola mandiri (sampah)," kata Anto, usai jumpa pers mengenai pengembangan insinerator plasma oleh LIPI, di Gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (20/11/2015).
Meski tidak menyebut spesifik, disebutkannya harga satu unit insinerator berskala besar bisa mencapai puluhan miliar. Bahkan, jika memilki teknologi lengkap, harga satu unitnya bisa mencapai ratusan miliar.
Sebagai gambaran, Anto menyatakan insinerator berskala besar misalnya yang berkapasitas di atas 500 ton sampah perhari, atau yang mampu mengolah sekitar 20 ton sampah perjam.
"Kalau yang kecil 1 ton perjam di bawah Rp 500 jutaan," ujar Anto.
DKI bisa memilih, apakah menggunakan insinerator skala besar atau kecil. Keuntungan insinerator skala besar yakni pembakaran yang dapat dilakukan secara berkelanjutan. Insinerator besar setelah menyala satu jam menurutnya bisa dimatikan bahan bakarnya.
Api dapat menyala terus dari sampah yang terbakar. Selain itu, terdapat perbedaan pemanfaatannya antara insinerator besar dan kecil.
"Kalau yang skala besar itu bisa jadi energi listrik. Kalau kecil biasanya cuma untuk bakar saja," ujar Anto.
Anto mengatakan, jika dapat direalisasikan, 10 insinerator itu dapat ditempatkan di lima wilayah Kota Madya di Jakarta. Pengelolaan mesinnya bisa oleh Pemprov DKI sendiri atau melalui operator swasta.
Untuk pengoperasionalnya sendiri menurutnya pemprov tetap perlu memberikan subsidi. Sebab, jikalau pun mengandalkan penjualan energi listrik, tidak akan menutup biaya operasional.
"Namanya sampah tetap harus ada subsidi," ujar Anto.
Adapun insinerator tersebut menurutnya mesti dilengkapi unit plasma. Agar, asap sisa pembakaran tidak mencemari lingkungan.
"Harga plasma Rp 25-50 juta atau bisa dikatakan 10 persen untuk harga insinerator. Untuk plasma life time-nya bisa tiga tahun," ujar Anto.
Soal pengembangan insinerator plasma ini, Anto mengatakan sudah pernah mempresentasikan dengan Pemprov DKI, sekitar Januari silam.
"Responnya (DKI) katanya DKI ikut e-catalog," ujarnya.
DKI menurutnya tengah memikirkan master plan mereka ke depan soal Bantar Gebang. Ia pun belum tahu apakah rencana proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) DKI, akan dilengkapi dengan unit plasma atau tidak.
"Saya belum tahu," ujar Anto.
Sebelumnya, unit plasma yang dikembangkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dilengkapi unit atau reaktor plasma ini dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan sampah dengan cepat melalui pembakaran yang tidak menghasilkan asap yang mencemari lingkungan.
Kandungan racun pada asap yang dihasilkan insinerator dapat dinetralisir dengan plasma sehingga asap yang dihasikan bersih dan aman untuk dilepas ke lingkungan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.