JAKARTA, KOMPAS.com — Kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama soal kompensasi penambahan koefisien lantai bangunan (KLB) dinilai sebagai terobosan baru.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 175 Tahun 2015 tentang Pengenaan Kompensasi terhadap Pelampauan Nilai Koefisien Lantai Bangunan.
Namun, menurut Koordinator Divisi dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas, kebijakan tersebut harus diawasi secara ketat.
"Yang perlu dilihat ini salah satu model terobosan, tetapi juga dilihat ketaatan dalam tata kelola keuangan daerah," kata Firdaus Ilyas saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (2/5/2016).
Menurut dia, kebijakan semacam ini belum diterapkan di pemerintahan daerah lain.
(Baca: Tanggapi Kritik, Ahok Tegaskan Sudah Ada Kajian soal Simpang Susun Semanggi)
Firdaus menyampaikan bahwa kerja sama pemerintah dengan pengembang semacam itu belum diatur dalam peraturan di daerah lain.
Di daerah lain, menurut dia, kerja sama semcam itu hanya sekadar kesepakatan "tahu sama tahu".
Sementara itu, di DKI Jakarta, Ahok membuat konsep tersebut menjadi sebuah peraturan tersendiri.
Melalui aturan itu, pengembang diminta untuk membuat fasilitas umum dan fasilitas sosial jika ingin menambah KLB.
Pembangunan fasilitas itu juga berdasarkan kebutuhan dari Pemprov DKI Jakarta.
"Nah memang satu pertanyaannya apakah ini tidak dimasukkan ke mekanisme APBN atau APBD. Karena kalau kita bicara political budgeting APBD, semua juga kan harus dibahas dan disetujui bersama oleh legislatif," kata Firdaus.
Normalnya, lanjut dia, kompensasi itu harus dibahas bersama DPRD dan dituangkan dalam APBD.
Namun, jika dikaitkan dalam bentuk hibah, perlu dilakukan sertifikasi aset. Adapun sertifikasi itu bertujuan menilai secara ekonomis berapa harga bangunan tersebut.
Firdaus juga menyampaikan, konsep hibah itu masih menyisakan pertanyaan, salah satunya terkait pelibatan DPRD.