JAKARTA, KOMPAS.com - Papan-papan bergambar pepohonan mengelilingi tanah seluas 55.110 meter persegi di Tanjung Barat, Jakarta Selatan, tepat di depan Stasiun Tanjung Barat. Pepohonan palsu itu menutupi pembangunan proyek superblok Tanjung Barat City Walk berupa apartemen dan mal milik PT Duta Semesta Mas, anak perusahaan Sinarmas Land.
Di sebelahnya, belasan spanduk penolakan dipajang warga perumahan Tanjung Mas Raya. Selain spanduk, perjuangan warga menolak pembangunan superblok itu tengah digulirkan di pengadilan.
Warga yang menolak menggugat Pemprov DKI Jakarta ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena telah memberi izin pembangunan mal di lahan fasos fasum.
Kepala Bagian Penataan Kota dan Lingkungan Hidup Kota Jakarta Selatan Bambang Eko Prabowo, memastikan pembangunan superblok tersebut mendapat izin dari Pemprov DKI Jakarta.
Dalam surat perjanjian antara Pemprov DKI dengan PT Duta Semesta Mas Nomor 7 Tahun 2016 tentang pemenuhan kewajiban pemegang penyempurnaan surat izin penunjukkan penggunaan tanah (SIPPT) Nomor 1372/-1.711.534 yang ditandatangi Sekretaris Daerah Saefullah, pembangunan tersebut mensyaratkan adanya penyediaan ruang terbuka hijau, marga jalan, dan sejumlah fasos fasum.
"Proyek itu sudah sesuai peruntukan dan perizinan. Prinsipnya, kalau kebijakan sudah dikeluarkan oleh Pemprov, kami akan bantu menjelaskan kepada masyarakat," kata Bambang kepada Kompas.com, Rabu (19/10/2016).
Melalui Lurah Tanjung Barat, warga yang menolak diminta hadir untuk menerima penjelasan dari pengembang. Namun warga yang menolak tak hadir. Salah satunya Edi Mulyono. Ia mengatakan pertemuan itu terkesan rekayasa sebab undangan disampaikan ke warga secara mendadak.
"Yang saya tahu undangan kami terima sore, dan pagi kalau enggak salah mediasi pukul 09.00 WIB, sementara warga masih banyak yang beerja. Kami segera minta waktu mediasi berjalan ulang tapi rapat tetap berjalan," katanya. (Baca: Pemkot Jaksel: Pembangunan Superblok di Tanjung Barat Sesuai Izin )
Edi mengatakan warga menolak pembangunan karena khawatir perumahan Tanjung Mas Raya yang dihuni 441 KK itu akan rawan bencana. Pembangunan besar-besaran dikhawatirkan akan berujung seperti Kemang. Belum lagi krisis air karena warga masih menyedot air tanah.
Edi mengatakan kajian analisis dampak lingkungan (Amdal) telah dilengkapi, namun hal itu tersebut belum mendapat persetujuannya dan diduga dipaksakan.
"Izin Amdal sepertinya dipaksakan, karena dari 441 KK warga Tanjung Mas Raya, hanya diwakili 4 orang saja, satu bendahara RT, 3 warga," ujar Edi.
Hal yang sama diungkapkan warga lainnya, Akbar Gama. Keluarganya telah menerima surat berisi penjelasan mengenai lahan pembangunan yang sejatinya adalah fasos fasum pengembang perumahan Tanjung Mas Raya.
Meski tak menolak keras, Akbar tetap khawatir akan dampak lalu lintas yang ditimbulkan apartemen.
"Jalan Nangka itu strategis dan jadi jalan pilihan utama orang-orang dari Jalan TB Simatupang kalau mau ke area mall. Tapi itu jalan sempit dan sepertinya harus dilebarkan untuk menampung arus lalu lintas warga, mall, dan kendaraan ke arah Depok," kata Akbar. (Baca: Djarot: Sudah Cukup Izin Pembangunan Mal dan Apartemen)
Dalam Peta Zonasi Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, lahan proyek itu berisi zona taman kota dan lingkungan, sub zona perkantoran, perdagangan dan jasa, serta sub zona rumah vertikal dengan koefisien dasar bangunan rendah.
Lahan itu sendiri sebenarnya milik PT TCP yang juga pengembang perumahan Tanjung Mas Raya. Di lahan itu, ada fasos fasum kewajiban PT TCP untuk warga perumahan. Namun belum sempat diserahkan ke Pemprov DKI Jakarta, lahan tersebut dijual ke Sinarmas Land. PT TCP kini diminta mengganti fasos fasum itu di tempat lain.