JAKARTA, KOMPAS.com - Debat calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta akan dilaksanakan Jumat (10/2/2017) mendatang dengan tema "Kependudukan dan Peningkatan Kualitas Hidup DKI Jakarta".
Tema kependudukan diambil tak lepas dari permasalahan administrasi kependudukan di Jakarta yang tak kunjung selesai. Hal itu berdampak pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada saat pemilihan umum akan dilaksanakan.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta Betty Epsilon Idroos menuturkan bahwa salah satu alasan mengapa permasalahan DPT adalah karena tingginya jumlah on-off warga Jakarta, atau yang kediamannya berpindah-pindah namun tidak memperbaharui data kependudukannya saat pindah.
"(Memilih tema debat tersebut) salah satunya masalah (kependudukan) besar sekali. On-off masyarakat kita sangat tinggi," kata Betty seusai acara diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (4/1/2017).
Sementara itu, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta Muhammad Jufri menyebutkan sejumlah permasalahan administrasi kependudukan jelang pemilu kepala daerah.
Pertama, adanya sejumlah orang yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sama dalam DPT. Kedua, adanya satu orang yang terdaftar di lebih dari satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) atau terdaftar dua kali dalam satu TPS yang sama. Salah satunya TPS di daerah Cakung Timur, Jakarta Timur.
"Petugas PPS mengakui bahwa itu kesalahan. Itu hanya satu kecamatan saja di Cakung, belum tahu yang lain," kata Jufri Terkait temuan-temuan di lapangan soal masalah administrasi kependudukan, Bawaslu DKI telah melaporkannya kepada KPUD.
"Kami anggap ini adalah kekeliruan, ketidaksengajaan. Kecuali kalau masif, berarti ada kesengajaan," tuturnya.
Terkait hal tersebut, Pengamat Politik Sebastian Salang menilai masalah kependudukan merupakan hal yang baisa terjadi saat pemilu dan bukan hanya di Jakarta. Menurutnya, memang banyak sekali persoala yang sangat teknis terkait kependudukan.
Ia pun mengamini pernyataan KPU DKI yang menyebutkan bahwa perpindahan penduduk Jakarta menjadi salah satu alasannya.
"Di DKI Jakarta ini kan memang tingkat rotasi atau perpindahan tempat tinggal tinggi sekali. Dari Jakarta Timur bisa pindah Jakarta Barat, misalnya. Ini fenomena kota besar," ujar Sebastian.
"Karena itu memang ini menjadi tantangan, upaya me-manage supaya orang-orang seperti ini tidak kehilangan hak pilih," sambungnya. (Baca: Tema Debat Ketiga Cagub-Cawagub DKI soal Kependudukan dan Peningkatan Kualitas Hidup)
Sebuah negara modern, kata dia, selalu ditantang untuk memperbaiki sistem administrasi kependudukannya. Indonesia sendiri, masih memiliki permasalahan terkait Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik yang belum 100 persen tuntas.
Permasalahan e-KTP tersebut juga berdampak pada pelaksanaan Pilkada karena masih banyak orang yang belum memiliki e-KTP. Di Jakarta, misalnya, Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Sumarsono beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa ada lebih dari 70.000 pemilih potensial yang belum memiliki e-KTP.
Ke depannya, ia berharap Bawaslu terus bekerja keras untuk melihat dimana kekurangan atau kelemahan yang dialami KPU dalam mengurus perihal status pemilih yang terkait dengan data kependudukan.
"Masukan teman-teman Bawaslu penting untuk perbaikan KPU juga," tuturnya.