JAKARTA, KOMPAS.com - Pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak jarang sekali dianggap sebagai hak asasi manusia yang mendesak untuk dipenuhi.
Pelapor Khusus PBB untuk tempat tinggal layak Leilani Farha menilai fenomena gelandangan dan permukiman kumuh selama ini tidak menjadi bagian dari diskusi-diskusi global dan target pencapaian jangka panjang dunia.
"Hak atas rumah dipisahkan sebagai hak dasar manusia, dan malah dibahas oleh mereka yang bertanggung jawab sebagai wacana kebijakan dan seperangkat program yang rumit," kata Farha dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Rabu (20/9/2017) malam.
Pemegang kebijakan, lembaga swadaya masyarakat, hingga media membahas dan mengkritisi soal pendidikan, air bersih, kesejahteraan. Namun acap kali meninggalkan tempat tinggal sebagai bagian dari masalah itu.
Padahal, sepertiga kematian di dunia berkaitan dengan kemiskinan dan tidak layaknya tempat tinggal. Angka global menunjukkan, setidaknya ada 100 juta anak yang tinggal di jalanan di seluruh dunia.
Farha yang menjadi pemerhati hunian layak menemukan di berbagai belahan dunia, baik di negara maju atau berkembang, tuna wisma dianggap sebagai kotoran, makhluk tak bermoral, kriminal, dan hanya menjadi beban.
Di jalanan, tuna wisma menjadi korban pelecehan dan kekerasan. Mereka tak diperlakukan dengan layak sebagai manusia. Ironisnya, ketika kondisi tak layak ini ditemukan di penjara, gelombang kecaman akan bermunculan. Padahal kondisi tak layak ini kita temukan sehari-hari di sudut kota, tetapi kita hanya diam.
"Tuna wisma bercerita ke saya dengan cucuran air mata bahwa lebih dari materi, apa yang mereka inginkan adalah diakui dan diperlakukan seperti manusia yang memiliki harga diri dan kehormatan," kata Farha.
Hunian yang harusnya jadi hak dasar yang wajib dipenuhi belakangan bergeser sebagai komoditas ekonomi. Tanah dan bangunan jadi taruhan spekulan dan dijual di pasar dunia sebagai barang komersil.
Fenomena yang kerap ditemui adalah masyarakat dimiskinkan dengan cara tanahnya diambil untuk dibangun produk properti bagi mereka yang lebih sejahtera dan kaya. Akibatnya, di kota-kota negara berkembang seperti Jakarta, triliunan rupiah uang investasi masuk membanjiri. Namun permukiman kumuh dan gelandangan masih sangat mudah ditemui.
"Ketika rumah diperdagangkan sebagai komoditas yang spekukatif, nilai kemanusiaannya tercabut," kata Farha.
Menurut Farha, sulit untuk menuding pihak yang bertanggung jawab atas fenomena ini. Namun di bawah hukum soal hak asasi manusia, negara dianggap bertanggung jawab.
"Tapi saya ingin menjelaskan bahwa pasar tidak muncul begitu saja. Negara sebagai pembuat regulasi punya kewajiban pemenuhan hak asasi manusia," kata Farha.
Pemenuhan kewajiban ini, kata dia, bisa dilakukan pemerintah dengan meregulasi dan mengatur pasar. Kegagalan pemerintah mengendalikan pasar properti dan menyediakan rumah bagi rakyatnya harus dianggap sebagai pengingkaran kewajiban dan pelanggaran hak asasi manusia.
"Negara harus memperbaiki undang-undangnya. Rumah adalah hak asasi manusia dan bukan aset bagi yang kaya," ujar Farha.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.