JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik keras Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan adanya biaya tambahan dalam top up atau isi ulang uang elektronik sebesar Rp 1.500 melalui mekanisme off us atau transaksi antara bank.
"Sekali pun angkanya kecil, tetapi bisa tetap besar kalau konsumen melalukan transaksi antar bank atau off us karena ada angka Rp 1.500. Jadi sebaiknya saran yang paling riil peraturan BI ini tidak mewajibkan bank memberikan biaya," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, di kantornya, Jumat (22/9/2017).
Menurut Tulus, perbankan yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) tidak bisa memberikan biaya tambahan isi ulang uang elektronik. Keputusan BI mewajibkan adanya tambahan biaya dalam isi ulang uang elektoronik bisa merusak kompetisi antar bank yang berdampak pada pemilihan bank penyedia uang elektronik oleh konsumen.
Baca juga: Menko Perekonomian Soroti Pengaturan Bisnis Uang Elektronik oleh BI
"Nanti biar konsumen yang menentukan akan memilih bank mana, sebab kalau BI memaksakan dengan aturan yang baru ini, kami mencurigai BI ini sebenarnya memihak ke salah satu bank saja," kata Tulus.
Hal itu juga menimbulkan pertanyaan bagi Tulus, yaitu mengapa BI mengeluarkan aturan tersebut. Soalnya, ada bank yang tidak mau membebankan biaya isi ulang uang elektronik ke konsumennya.
"Ini menjadi pertanyaan besar kenapa BI memaksakan aturan ini sementara ada bank yang bersedia tidak memberikan biaya isi ulang kepada konsumennya," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.