JAKARTA, KOMPAS.com - Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi mengatakan, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berkesempatan hanya sekali untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). MA, kata Suhadi berpedoman pada Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang pengajuan permohonan PK dalam perkara pidana. Dalam SEMA diatur bahwa PK hanya bisa dilakukan satu kali.
"Ada surat edaran MA yang mengamanatkan PK hanya satu kali. Kemudian di UU Kekuasaan Kehakiman, putusan PK tidak boleh di-PK dan itu berarti satu kali," ujar Suhadi kepada Kompas.com, Selasa (27/3/2018).
MA telah menolak permohonan PK yang diajukan Ahok terkait vonis dua tahun penjara dalam kasus penodaan agama.
Baca juga : PK Ahok Ditolak MA
Suhadi mengatakan, PK lebih dari sekali ini kerap diupayakan terpidana mati untuk menunda eksekusi. MA melihat hal tersebut sebagai cara untuk mengulur hukuman.
Selain itu, dalam perkara korupsi, kata Suhadi, setiap perkara ditangani dua hakim ad hock. Adapun MA hanya memiliki enam hakim ad hock yang tidak boleh menangani perkara yang sama lebih dari satu kali.
Terkait putusan kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar yang berkali-kali mengajukan PK dan gugatannya akhirnya diterima Mahkamah Konstitusi (MK), Suhadi mengatakan itu merupakan perkara lain. Adapun PK yang diajukan Antasari saat itu dianggap tidak berpengaruh terhadap vonisnya.
Baca juga : MK Kabulkan Gugatan, Antasari Bisa PK Berkali-kali
"Itu alasan ketika mengajukan perkara ke MK, tapi enggak ada bagaimana akibat kalau berulang kali PK itu dilakukan, tapi demi untuk keadilan saja. Tapi kami jauh ke depan, PK satu berulang kali PK. Selain itu kesulitan, hakim terbatas dan hakim enggak boleh mengadili perkara dua kali dalam perkara yang sama," ujar Suhadi.
Pada 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Antasari Azhar, perihal peninjauan kembali (PK). Padahal sebelumnya MA menolak permohonan PK Antasari.
Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan putusan menyatakan, keadilan tidak dibatasi waktu dan hanya boleh sekali. Pasalnya, menurut majelis, mungkin saja setelah putusan PK ditemukan keadaan baru (novum), yang saat PK pertama kali atau sebelumnya belum ditemukan.
"UU KUHP tidak dapat diterapkan karena hanya memperbolehkan mengajukan PK sekali, karena menyangkut keadilan," kata Anwar.
Putusan itu berdasarkan pertimbangan bahwa keadilan bernilai lebih besar dari kepastian hukum. Dengan demikian, makna keadilan menjadi kabur jika harus ditutup dengan PK hanya boleh sekali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.