TANGERANG, KOMPAS.com - Dua terdakwa kasus mafia tanah seluas 45 hektare di Pinang, Kota Tangerang, menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Senin (7/6/2021).
Dua orang itu adalah Darmawan (48) dan Mustafa Camal Pasha (61). Mereka telah ditangkap kepolisian pada April 2021.
Ketua majelis hakim persidangan itu adalah Nelson Panjaitan. Jaksa penuntut umum (JPU) sidang tersebut adalah Adib Fachri Dilli dan Oktavian Samsurizal.
Darmawan dan Mustafa menghadiri sidang itu secara daring dari Lapas Tangerang, Kota Tangerang.
Baca juga: Kejaksaan Limpahkan Berkas Kasus 2 Mafia Tanah di Kota Tangerang ke Pengadilan
Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang Dapot Dariarma menyatakan, sidang perdana tersebut beragendakan pembacaan dakwaan.
"Hari ini agendanya pembacaan dakwaan. Minggu depan, ada eksepsi dari pengacara Darmawan," papar dia saat dikonfirmasi, Senin.
"Untuk pengacara Mustafa, dia tidak melakukan eksepsi," sambungnya.
Dapot menuturkan, JPU mendakwa Darmawan dan Mustafa dengan Pasal 263 Ayat 1 jo Pasal 55 atau Pasal 263 Ayat 2 jo Pasal 55 KUHP. Keduanya terancam hukuman minimal lima tahun penjara dan maksimal 7 tahun penjara.
Dapot mengungkapkan, salah satu hal yang memberatkan dalam kasus tersebut adalah para terdakwa mengambil hak milik masyarakat pemilik tanah seluas 45 hektare di Pinang.
"Hal yang memberatkan, dia (Darmawan dan Mustafa) mengambil hak masyarakat terkait tanah tersebut," tuturnya.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus sebelumnya menuturkan kronologi kasus yang menjerat dua orang itu.
Keduanya menggunakan modus melayangkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang untuk mengakuisisi lahan tersebut.
Darmawan mengungat Mustafa Camal Pasha di pengadilan. Gugatan itu hanya akal-akalan. Perselisihan tersebut kemudian berujung damai. Mereka lalu merasa telah berhak untuk menguasai lahan tersebut.
"Tersangka DM (Darmawan) menggugat perdata tersangka MCP (Mustafa). Ini bentuk mafia mereka," ujar Yusri saat mengungkap kasus itu.
Aksi menggugat secara perdata itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap perusahaan dan warga sekitar yang sesungguhnya punya hak tanah tersebut.