JAKARTA, KOMPAS.com - Topi berbahan anyaman bambu sempat sangat identik dengan Kabupaten Tangerang. Keidentikan ini tak lepas dari kekayaan Kabupaten Tangerang akan komoditas bambu.
Tumbuhan ini mudah dijumpai di pinggiran sungai wilayah Tangerang. Kerajinan tangan topi bambu dari Tangerang pernah menjadi primadona, sebelum surut pada 1960-an.
Di masa lalu, mulai masa kolonial Belanda pada 1800-an hingga periode pasca-kemerdekaan 1955, produk topi bambu dari Tangerang tersebut populer di Asia, Eropa, bahkan Amerika.
Kala itu, dunia mode internasional terimbas sentuhan bambu Tangerang.
Dilansir dari Historia.id, kemunculan topi bambu di Tangerang bermula dari kehadiran seorang saudagar asal Cina di tanah Jawa pada abad ke-19.
Ia datang jauh-jauh dari Kota Manila, Filipina, untuk melanjutkan ekspansi dagangnya.
Namun, si saudagar mengurungkan niatnya setelah melihat banyaknya bahan-bahan pembuat topi bambu di Jawa, seperti bambu dan serat pandan.
Ia lebih memilih untuk memperkenalkan topi bambu kepada masyarakat lokal.
Produksi topi bambu pun berlangsung, para penduduk beserta seluruh anggotanya turut terlibat di dalamnya.
Baik anak kecil maupun orang dewasa, semuanya mengambil peran dalam memproduksi topi bambu.
Di masyarakat Tangerang, pohon bambu bisa terpakai semuanya. Bambu muda atau rebung menjadi bahan makanan, baik sebagai sayuran maupun bahan campuran kue, seperti lumpia.
Sementara daun bambu digunakan untuk membungkus bacang, makanan khas peranakan Tionghoa.
Batang bambu bisa dirakit menjadi rakit. Sejak ratusan tahun lalu, rakit bambu dari desa mengikuti aliran Sungai Cisadane hingga ke pusat perdagangan Tangerang.
Rakit lainnya meluncur lewat Kali Mookervaart menuju Kali Angke dan tiba di Kota yang kini jadi kawasan Kota Tua Jakarta.
Di dermaga Tangerang, tepatnya tangga Ronggeng dan tangga Jamban, bambu yang dirakit ini dibongkar. Batang bambu dijual untuk bahan bangunan, dan sebagian bisa djadikan topi.