JAKARTA, KOMPAS.com - Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Kwitang Nomor 28, Jakarta Pusat, telah berdiri sejak tahun 1876.
Selama itu pulalah gereja ini berfungsi sebagai perawat kebinekaan dari bermacam suku dan imigran yang menjadi umat gereja.
Catatan yang dihimpun Kompas menyebutkan, sekitar 100 tahun setelah pemberontakan Tionghoa, 1740, terjadi kawin silang terbanyak di lingkungan suku Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Ambon, Melayu, imigran India Gujarat, Arab, Tionghoa, Portugis, dan Belanda di Batavia.
Sebagian besar dari mereka kemudian memeluk agama Islam dan sebagian lainnya memeluk Kristen, Buddha, dan Khonghucu.
Sebagian dari yang memeluk agama Kristen Protestan beribadah di Gereja Kwitang ini.
Salah satu cermin kebinekaan di GKI Kwitang ini, antara lain, muncul lewat musik liturgi gereja tersebut. Tak heran jika di dalam gereja tampak seperangkat kolintang.
Baca juga: Misa Natal 2022, Jemaat Penuhi Gereja Katedral Jakarta
Musik liturgi daerah biasanya tampil di masa adven (masa puasa). Alat-alat musik liturgi di GKI Kwitang bermacam-macam, mulai dari gamelan, angklung, godang Tapanuli, dan sampai alat musik keroncong.
"Kami biasanya menyewa alat-alat musiknya,” papar Pendeta Agus Mulyono.
Awal penginjilan di lingkungan gereja ini, menurut buku Menjadi Mitra Allah (GKI Kwitang, Jakarta 2004), dilakukan Zendeling E Haan pada 19 Desember 1873 sebagai bagian dari pengutusan Christelijk Gereformeerde Kerk.
”Mulanya, pelayanan terbatas di lingkungan orang-orang berkebangsaan Belanda di Batavia. Lambat laun berkembang berbhineka,” kata Pendeta Agus.
Bangunan gereja pertama kali masih berupa rumah berdinding bambu. Rumah ini dibangun dari dana sumbangan Nyonya R Rijks, Nona Hafland, dan Nyonya Blanket. Gereja bambu ini berlokasi di belakang gedung gereja permanen saat ini.
Baca juga: 8 Gereja Unik di Indonesia, Ada yang Mirip Kuil dan Pura
Ibadah pertama gereja ini dilakukan pada 5 November 1876, diikuti 50 orang. Tahun 1886 gedung gereja permanen, seperti ditulis Adolf Heuken SJ dalam bukunya, Gereja-gereja Tua di Jakarta (Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2003), dibangun oleh Pendeta Huysing.
Ia membeli sebidang tanah di pinggir Jalan Kwitang dari seorang perempuan Tionghoa seharga 11.500 gulden pada 1886. Tahun 1924, bagian depan gedung gereja dirombak.
Tahun 1951, saat orang Belanda sudah diusir dari Jakarta, Pendeta Liem Tjauw Liep masih memimpin umat dengan berbahasa Belanda. Tahun 1961, kelompok umat berbahasa Belanda ini bergabung kembali dengan umat yang berbahasa Indonesia.
Saat Kompas mengunjungi kembali bangunan gereja, hampir seluruh perabot dan interior bangunan telah diperbarui.