JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan menonaktifkan nomor induk kependudukan (NIK) warga yang sudah tidak tinggal di Ibu Kota semakin santer dibicarakan publik.
Diperkirakan hampir 200.000 penduduk bakal terdampak kebijakan ini, yaitu tercatat ada 194.777 penduduk nonaktif di wilayah DKI Jakarta.
Adapun jumlah paling banyak itu berasal dari mereka yang tidak diketahui keberadaannya dan sudah pindah ke luar DKI, tetapi dokumen kependudukannya masih di Jakarta.
Rencananya, penonaktifan NIK ini akan dilakukan pada Agustus 2023. Bimbingan teknis kepada masyarakat akan diadakan dari Mei hingga Juli mendatang.
Di tengah isu penonaktifkan NIK warga ber-KTP DKI yang tinggal di luar Jakarta, beredar berita palsu yang menyebutkan kebijakan itu berlaku per Juni 2023.
Padahal, Kepala Dinas Dukcapil DKI Jakarta Budi Awaluddin mengatakan, penonaktifan KTP elektronik tersebut saat ini masih tahap rencana.
"Ini (rencana penonaktifan KTP) merupakan upaya penertiban administrasi kependudukan di mana penduduk ber-KTP DKI Jakarta harus secara de facto tinggal di wilayah DKI Jakarta," ucap Budi, Rabu (3/5/2023).
Baca juga: Pesan Berantai KTP DKI Dinonaktifkan Juni 2023, Pemprov DKI: Informasi Tak Benar!
Menurut Budi, Disdukcapil DKI saat ini masih mendata warga ber-KTP DKI yang tak lagi tinggal di Ibu Kota.
Tak hanya itu, penonaktifan NIK ini juga dinilai berkaitan dengan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Namun, isu itu pun dibantah.
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono merasa wajar jika KTP DKI Jakarta milik warga yang tak lagi tinggal di Ibu Kota dinonaktifkan.
"Ya, wajar dong. Ya, kan dinonaktifkan (KTP-nya) sementara. Ada sekian ratus ribu (warga ber-KTP DKI) yang memang keberadaannya tidak diketahui," ucap Heru, Rabu (3/5/2023).
Heru juga menegaskan, penonaktifan NIK warga ber-KTP DKI Jakarta tetapi tinggal di luar kota ini tidak ada hubungannya dengan perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) pada 2024.
Sementara itu, Budi menjelaskan, penonaktifan NIK itu diperlukan, misalnya, untuk ketertiban administrasi penduduk dan mengurangi potensi rugi keuangan daerah.
Selain itu, kata Budi, langkah itu juga untuk mengurangi potensi golongan putih (golput) dan menghindari penyalahgunaan dokumen kependudukan oleh masyarakat.
(Penulis : Muhammad Naufal | Editor : Nursita Sari, Jessi Carina)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.