JAKARTA, KOMPAS.com - Sekjen MAHUPIKI (Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia) Ahmad Sofian mengatakan, tidak ada unsur kerja sama dari terdakwa penganiayaan D (17), AG (15) dan Mario Dandy (20).
Hal ini disampaikan dia dalam Webinar “Membedah Putusan Tingkat Pertama dan Banding kasus Anak AGH”, Minggu (7/5/2023).
“Pandangan saya terkait kasus ini sebenarnya, apakah benar penerapan ajaran penyertaan dalam pertimbangan hukum hakim?” kata Dosen Hukum Pidana Binus University itu.
Dalam salah satu putusan AG, tertulis bahwa dia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penyertaan.
Baca juga: ICJR Minta MA Pertimbangkan Seluruh Bukti Persidangan AG dalam Kasus Penganiayaan D
Tertulis dalam Pasal 55 ayat (1) poin 1, dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu.
Ahmad berpendapat, Pasal 55 ayat (1) kurang tepat dalam kasus pengadilan AG.
“Karena AG tidak dalam konteks melakukan, makanya ajaran kausalitas kurang tepat. Kemudian juga tidak dalam konteks menyuruh melakukan, dan tidak dalam konteks menyuruh melakukan,” tutur dia.
Menurut pandangan Ahmad setelah membaca putusan hakim tingkat pertama dan tingkat kasasi, hakim menyimpulkan AG turut serta melakukan tindak pidana bersama Mario Dandy dan Shane Lukas (19).
Namun, kata Ahmad, tidak ada bukti yang mengindikasikan bahwa AG secara sadar bersama-sama untuk melakukan penganiayaan berat bersama dengan Mario Dandy dan Shane Lukas.
Baca juga: KPAI Tegaskan Setiap Anak Berhak Mendapat Hak Pendidikan Penuh, Termasuk AG dan D
“Pertimbangan hukum hakim yang tercantum dalam halaman 155-157 menyimpang secara fundamental dalam memberikan tafsir terhadap ‘bersama-sama atau bekerjasama’ sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP,” ujar Ahmad.
Selain itu, Ahmad berpendapat hakim juga tidak dapat membuktikan sikap batin jahat (kesengajaan) AG terkait merencanakan penganiayaan melalui rencana mengembalikan kartu pelajar milik D.
“Ide penganiayaan itu ada dalam diri Mario, bukan dalam diri AG,” Ahmad menyebut.
“Jadi menurut saya, pelaksanaan tindak pidana enggak ada. Dibantah oleh pengacara dalam memori bandingnya bahwa AG tidak ikut dalam rekam. Tapi di dalam putusan, tuntutan dia merekam bagian akhir. Jadi dianggap ngerekam, tafsiran hakim, adalah berkontribusi terhadap penganiayaan,” sambung dia.
Baca juga: Klaim AG Orang Pertama yang Menolong D, Kuasa Hukum: Ada dalam CCTV dan BAP
Diberitakan sebelumnya, AG, remaja yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) itu dinilai telah melanggar Pasal 355 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Memperhatikan UU RI nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 355 Ayat 1 serta peraturan perundang-undangan lain, menyatakan, satu, AG terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu sebagaimana dalam dakwaan pertama primer," ujar Hakim Tunggal Sri Wahyuni Batubara saat membacakan putusan.
"Dua, menjatuhkan pidana terhadap AG dengan pidana penjara pidana selama tiga tahun enam bulan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)," ucap hakim melanjutkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.